Miqdad Bin ‘Amr
Miqdad Bin ‘Amr [Pelopor Pasukan Berkuda & Ahli Filsafat]
Ketika membicarakan dirinya, para shahabat dan teman sejawatnya berkata: “Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul Aswad”. Dan Miqdad ibnul Aswad yang mereka maksudkan itu ialah tokoh kita Miqdad bin ‘Amr ini. Di masa jahiliyah ia menyetujui dan membuat perjanjian untuk diambil oleh al-Aswad ‘Abdi Yaghuts sebagai anak, hingga namanya berubah menjadi Miqdad ibnul Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak angkat dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kandungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya yaitu. ‘Amr bin Sa’ad.
Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan keislamannya secara terbuka dengan terus terang, dan menanggungkan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari!
Perjuangannya di medan Perang Badar tetap akan jadi tugu peringatan yang selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang dicita dan diangan-angankan oleh seseorang untuk menjadi miliknya….
Berkatalah Abdullah bin Mas’ud yakni seorang shahabat Rasulullah:
“Saya telah menyaksikan perjuangan. Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi shahabatnya daripada segala isi bumi ini ….
Pada hari yang bermula dengan kesuraman itu . . . yakni ketika Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan semangat dan tekad yang bergelora, dengan kesombongan dan keangkuhan mereka . . . . Pada hari itu Kaum Muslimin masih sedikit, yang sebelumnya tak pernah mengalami peperangan untuk mempertahankan Islam, dan inilah peperangan pertama yang mereka terjuni ….
Sementara Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan meneliti persiapan mereka untuk menghadapi tentara musuh yang datang menyerang, baik pasukan pejalan kaki maupun angkatan berkudanya . . . , para shahabat dibawanya bermusyawarah dan mereka mengetahui bahwa jika beliau meminta buah fikiran dan pendapat mereka, maka hal itu dimaksudnya secara sungguh-sungguh. Artinya dari setiap mereka dimintanya pendirian dan pendapat yang sebenarnya, hingga bila ada di antara mereka yang berpendapat lain yang berbeda dengan pendapat umum, maka ia tak usah takut atau akan mendapat penyesalan.
Miqdad khawatir kalau ada di antara Kaum Muslimin yang terlalu berhati-hati terhadap perang. Dari itu sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang tegas dapat menyalakan semangat perjuangan dan turut mengambil bagian dalam membentuk pendapat umum.
Tetapi sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Shiddiq telah mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati Miqdad menjadi tenteram karenanya. Setelah itu Umar bin Khatthab menyusul bicara, dan buah pembicaraannya juga baik. Maka tampillah Miqdad, katanya:
“Ya Rasulullah ….
Teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda … !
Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk menunggu di sini. Tetapi kami akan mengatakan kepada anda: Pergilah anda bersama Tuhan anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang di samping anda … !
Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersama anda dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kiri anda, di bagian depan dan di bagian belakang anda, sampai Allah memberi anda kemenangan … !”
Kata-katanya itu mengalir tak ubah bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya, sementara mulutnya komat-kamit mengucapkan do’a yang baik untuk Miqdad. Serta dari kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan dalam kumpulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan … !
Sungguh, kalimat-kalimat yang diucapkan Miqdad bin ‘Amr itu mencapai sasarannya di hati orang-orang Mu’min, hingga Sa’ad dan Mu’adz pemimpin kaum Anshan bangkit berdiri, katanya:
“Wahai Rasulullah ….
Sungguh, kami telah beriman kepada anda dan membenarkan anda, dan kami saksikan bahwa apa yang anda bawa itu adalah benar . . . , Serta untuk itu kami telah ikatkan janji dan padukan kesetiaan kami!
Maka majulah wahai Rasulullah laksanakan apa yang anda kehendaki, dan kami akan selalu bersama anda … !
Dan demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, sekiranya anda membawa kami menerjuni dan mengarungi lautan ini, akan kami terjuni dan arungi, tidak seorang pun di antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur untuk menghadapi musuh … !
Sungguh, kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam menghadapi musuh, dan moga-moga Allah akan memperlihatkan kepada anda perbuatan kami yang berkenan di hati anda . . . ! Nah, kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah . . .!”
Maka hati Rasulullah pun penuhlah dengan kegembiraan, lalu sabdanya kepada shahabat-shahabatnya: “Berangkatlah dan besarkanlah hati kalian …
Dan kedua pasukan pun berhadapanlah ….
Anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu jumlahnya tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin ‘Amr, Martsad bin Abi Martsad dan Zubair bin Awwam; sementara pejuang-pejuang lainnya terdiri atas pasukan pejalan kaki atau pengendara-pengendara unta.
Ucapan Miqdad yang kita kemukakan tadi, tidak saja menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam ….
Demikianlah sifat Miqdad ….
la adalah seorang filosof dan ahli fikir. Hikmat dan filsafatnya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh tulus dan lurus, sementara pengalaman-pengalamannya menjadi sumber bagi pemikiran dan penunjang bagi filsafat itu.
Pada suatu hari ia diangkat oleh Rasulullah sebagai amir di suatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi sertanya:
“Bagaimanakah pendapatmu menjadi amir?” Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: “Anda telah menjadikan daku menganggap diri di atas semua manusia sedang mereka semua di bawahku …. Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya … ! “
Nah, jika ini bukan suatu filsafat, maka apakah lagi yang dikatakan filsafat itu . . .?
Dan jika orang ini bukan seorang filosof, maka siapakah lagi yang disebut filosof … ?
seorang laki-laki yang tak hendak tertipu oleh dirinya, tak hendak terpedaya oleh kelemahannya … !
Dipegangnya jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi oleh kemegahan dan puji-pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman pahit itu. Kemudian ternyata bahwa ia menepati janji dan sumpahnya itu, hingga semenjak itu ia tak pernah mau menerima jabatan amir …. !
Miqdad selalu mendendangkan Hadits yang didengarnya dari ‘Rasulullah saw., yakni:
Orang yang berbahagia, ialah orang yang dijauhkan dari fitnah … !”
Oleh karena jabatan sebagai amir itu dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya, ialah menjauhinya. Di antara madhhar atau manifestasi filsafatnya ialah tidak
tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga dipelajarinya dari Rasulullah saw. Yang telahmenyampaikan kepada ummatnya: “bahwa hati manusia lebih cepat berputarnya daripada isi periuk di kala menggelegak …. “.
Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak beroleh atau mengalami hal yang baru lagi . . . . Perubahan atau hal baru apakah lagi setelah maut … ?
Dalam percakapan yang disampaikan kepada kita oleh salah seorang shahabat dan teman sejawatnya seperti di bawah ini, filsafatnya itu menonjol sebagai suatu renungan yang amat dalam, katanya:
“Pada suatu hari kami pergi duduk-duduk ke dekat Miqdad. Tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, dan katanya kepada Miqdad: Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah saw.! Demi Allah, andainya kami dapat melihat apa yang anda lihat, dan menyaksikan apa yang anda saksikan … !” Miqdad pergi menghampirinya, katanya:
“Apa yang mendorong kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya?
Demi Allah, bukankah di masa Rasulullah saw. banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahannam … !
Kenapa kalian tidak mengucapkan puji kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian!”
Suatu hikmah . . .! Dan hikmah yang bagaiman lagi . . . ? Tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup di masa Rasulullah dan beroleh kesempatan untuk melihatnya!
Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dan dalam, dapat menembus barang ghaib yang tidak terjangkau di balik cita-cita dan keinginan itu. Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan jatuh kafir bersama orang-orang kafir lainnya … ?
Maka tidakkah ia lebih baik memuji Allah yang telah menghidupkannya di masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih …?
Demikianlah pandangan Miqdad, memancarkan hikmah dan filsafat . . . . Dan seperti demikian pula pada setiap tindakan, pengalaman dan ucapannya, ia adalah seorang filosof dan pemikir ulung ….
Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya . . . .
Dan cinta, bila ia tumbuh dan membesar Serta didampingi oleh hikmat, maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas hanya dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul tanggung jawabnya….
Dan Miqdad bin ‘Amr dari tipe manusia seperti ini . . . . Kecintaannya kepada Rasulullah menyebabkan hati dan ingatannya dipenuhi rasa tanggung jawab terhadap keselamatan yang dicintainya, hingga setiap ada kehebohan di Madinah, dengan secepat kilat Miqdad telah berada di ambang pintu rumah Rasulullah menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau lembingnya … !
Sedang kecintaannya kepada Islam menyebabkannya sertanggung jawab terhadap keamanannya, tidak saja dari tipu daya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan kawan-kawannya sendiri ….
Pada suatu ketika ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak seorang pun mengembalakan hewan tunggangannya.
Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan tersebut hingga melanggarnya; dan sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar daripada yang seharusnya, atau mungkin tidak usah sama sekali.
Miqdad lewat di depan hukuman tersebut yang sedang menangis berteriak-teriak. Ketika ditanyainya ia mengisahkan apa yang telah terjadi. Miqdad meraih tangan orang itu, dibawanya ke hadapan amir atau komandan, lalu dibicarakan dengannya keadaan bawahannya itu, hingga akhirnya tersingkaplah kesalahan dan kekeliruan amir itu. Maka kata Miqdad kepadanya: “Sekarang suruhlah ia membalas keterlanjuran anda dan berilah ia kesempatan untuk nielakukan qishash”‘
Sang amir tunduk dan bersedia . . . , hanya si terhukum berlapang dada dan memberinya ma’af.
Penciuman Miqdad yang tajam mengenai gentingnya suasana, dan keagungan Agama yang telah memberikan kepada mereka kebesaran ini, hingga katanya seakan-akan berdendang:
“Biar saya mati, asal Islam tetap jaya … ! “
Memang, itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus dibalas dengan nyawa sekalipun. Dan dengan keteguhan hati yang mena’jubkan ia berjuang bersama kawankawannya untuk mewujudkan cita-cita tersebut, hingga selayaknyalah ia beroleh kehormatan dari Rasulullah saw. menerima ucapan berikut:
“Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa la mencintaimu “.
Ya Allah bangkitkanlah dari antara kami dan anak cucu kami Miqdad-miqdad pahlawan, pejuang dan pembela Agama-Mu
Ketika membicarakan dirinya, para shahabat dan teman sejawatnya berkata: “Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul Aswad”. Dan Miqdad ibnul Aswad yang mereka maksudkan itu ialah tokoh kita Miqdad bin ‘Amr ini. Di masa jahiliyah ia menyetujui dan membuat perjanjian untuk diambil oleh al-Aswad ‘Abdi Yaghuts sebagai anak, hingga namanya berubah menjadi Miqdad ibnul Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak angkat dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kandungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya yaitu. ‘Amr bin Sa’ad.
Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan keislamannya secara terbuka dengan terus terang, dan menanggungkan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari!
Perjuangannya di medan Perang Badar tetap akan jadi tugu peringatan yang selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang dicita dan diangan-angankan oleh seseorang untuk menjadi miliknya….
Berkatalah Abdullah bin Mas’ud yakni seorang shahabat Rasulullah:
“Saya telah menyaksikan perjuangan. Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi shahabatnya daripada segala isi bumi ini ….
Pada hari yang bermula dengan kesuraman itu . . . yakni ketika Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan semangat dan tekad yang bergelora, dengan kesombongan dan keangkuhan mereka . . . . Pada hari itu Kaum Muslimin masih sedikit, yang sebelumnya tak pernah mengalami peperangan untuk mempertahankan Islam, dan inilah peperangan pertama yang mereka terjuni ….
Sementara Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan meneliti persiapan mereka untuk menghadapi tentara musuh yang datang menyerang, baik pasukan pejalan kaki maupun angkatan berkudanya . . . , para shahabat dibawanya bermusyawarah dan mereka mengetahui bahwa jika beliau meminta buah fikiran dan pendapat mereka, maka hal itu dimaksudnya secara sungguh-sungguh. Artinya dari setiap mereka dimintanya pendirian dan pendapat yang sebenarnya, hingga bila ada di antara mereka yang berpendapat lain yang berbeda dengan pendapat umum, maka ia tak usah takut atau akan mendapat penyesalan.
Miqdad khawatir kalau ada di antara Kaum Muslimin yang terlalu berhati-hati terhadap perang. Dari itu sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang tegas dapat menyalakan semangat perjuangan dan turut mengambil bagian dalam membentuk pendapat umum.
Tetapi sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Shiddiq telah mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati Miqdad menjadi tenteram karenanya. Setelah itu Umar bin Khatthab menyusul bicara, dan buah pembicaraannya juga baik. Maka tampillah Miqdad, katanya:
“Ya Rasulullah ….
Teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda … !
Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk menunggu di sini. Tetapi kami akan mengatakan kepada anda: Pergilah anda bersama Tuhan anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang di samping anda … !
Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersama anda dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kiri anda, di bagian depan dan di bagian belakang anda, sampai Allah memberi anda kemenangan … !”
Kata-katanya itu mengalir tak ubah bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya, sementara mulutnya komat-kamit mengucapkan do’a yang baik untuk Miqdad. Serta dari kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan dalam kumpulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan … !
Sungguh, kalimat-kalimat yang diucapkan Miqdad bin ‘Amr itu mencapai sasarannya di hati orang-orang Mu’min, hingga Sa’ad dan Mu’adz pemimpin kaum Anshan bangkit berdiri, katanya:
“Wahai Rasulullah ….
Sungguh, kami telah beriman kepada anda dan membenarkan anda, dan kami saksikan bahwa apa yang anda bawa itu adalah benar . . . , Serta untuk itu kami telah ikatkan janji dan padukan kesetiaan kami!
Maka majulah wahai Rasulullah laksanakan apa yang anda kehendaki, dan kami akan selalu bersama anda … !
Dan demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, sekiranya anda membawa kami menerjuni dan mengarungi lautan ini, akan kami terjuni dan arungi, tidak seorang pun di antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur untuk menghadapi musuh … !
Sungguh, kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam menghadapi musuh, dan moga-moga Allah akan memperlihatkan kepada anda perbuatan kami yang berkenan di hati anda . . . ! Nah, kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah . . .!”
Maka hati Rasulullah pun penuhlah dengan kegembiraan, lalu sabdanya kepada shahabat-shahabatnya: “Berangkatlah dan besarkanlah hati kalian …
Dan kedua pasukan pun berhadapanlah ….
Anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu jumlahnya tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin ‘Amr, Martsad bin Abi Martsad dan Zubair bin Awwam; sementara pejuang-pejuang lainnya terdiri atas pasukan pejalan kaki atau pengendara-pengendara unta.
Ucapan Miqdad yang kita kemukakan tadi, tidak saja menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam ….
Demikianlah sifat Miqdad ….
la adalah seorang filosof dan ahli fikir. Hikmat dan filsafatnya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh tulus dan lurus, sementara pengalaman-pengalamannya menjadi sumber bagi pemikiran dan penunjang bagi filsafat itu.
Pada suatu hari ia diangkat oleh Rasulullah sebagai amir di suatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi sertanya:
“Bagaimanakah pendapatmu menjadi amir?” Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: “Anda telah menjadikan daku menganggap diri di atas semua manusia sedang mereka semua di bawahku …. Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya … ! “
Nah, jika ini bukan suatu filsafat, maka apakah lagi yang dikatakan filsafat itu . . .?
Dan jika orang ini bukan seorang filosof, maka siapakah lagi yang disebut filosof … ?
seorang laki-laki yang tak hendak tertipu oleh dirinya, tak hendak terpedaya oleh kelemahannya … !
Dipegangnya jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi oleh kemegahan dan puji-pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman pahit itu. Kemudian ternyata bahwa ia menepati janji dan sumpahnya itu, hingga semenjak itu ia tak pernah mau menerima jabatan amir …. !
Miqdad selalu mendendangkan Hadits yang didengarnya dari ‘Rasulullah saw., yakni:
Orang yang berbahagia, ialah orang yang dijauhkan dari fitnah … !”
Oleh karena jabatan sebagai amir itu dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya, ialah menjauhinya. Di antara madhhar atau manifestasi filsafatnya ialah tidak
tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga dipelajarinya dari Rasulullah saw. Yang telahmenyampaikan kepada ummatnya: “bahwa hati manusia lebih cepat berputarnya daripada isi periuk di kala menggelegak …. “.
Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak beroleh atau mengalami hal yang baru lagi . . . . Perubahan atau hal baru apakah lagi setelah maut … ?
Dalam percakapan yang disampaikan kepada kita oleh salah seorang shahabat dan teman sejawatnya seperti di bawah ini, filsafatnya itu menonjol sebagai suatu renungan yang amat dalam, katanya:
“Pada suatu hari kami pergi duduk-duduk ke dekat Miqdad. Tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, dan katanya kepada Miqdad: Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah saw.! Demi Allah, andainya kami dapat melihat apa yang anda lihat, dan menyaksikan apa yang anda saksikan … !” Miqdad pergi menghampirinya, katanya:
“Apa yang mendorong kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya?
Demi Allah, bukankah di masa Rasulullah saw. banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahannam … !
Kenapa kalian tidak mengucapkan puji kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian!”
Suatu hikmah . . .! Dan hikmah yang bagaiman lagi . . . ? Tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup di masa Rasulullah dan beroleh kesempatan untuk melihatnya!
Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dan dalam, dapat menembus barang ghaib yang tidak terjangkau di balik cita-cita dan keinginan itu. Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan jatuh kafir bersama orang-orang kafir lainnya … ?
Maka tidakkah ia lebih baik memuji Allah yang telah menghidupkannya di masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih …?
Demikianlah pandangan Miqdad, memancarkan hikmah dan filsafat . . . . Dan seperti demikian pula pada setiap tindakan, pengalaman dan ucapannya, ia adalah seorang filosof dan pemikir ulung ….
Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya . . . .
Dan cinta, bila ia tumbuh dan membesar Serta didampingi oleh hikmat, maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas hanya dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul tanggung jawabnya….
Dan Miqdad bin ‘Amr dari tipe manusia seperti ini . . . . Kecintaannya kepada Rasulullah menyebabkan hati dan ingatannya dipenuhi rasa tanggung jawab terhadap keselamatan yang dicintainya, hingga setiap ada kehebohan di Madinah, dengan secepat kilat Miqdad telah berada di ambang pintu rumah Rasulullah menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau lembingnya … !
Sedang kecintaannya kepada Islam menyebabkannya sertanggung jawab terhadap keamanannya, tidak saja dari tipu daya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan kawan-kawannya sendiri ….
Pada suatu ketika ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak seorang pun mengembalakan hewan tunggangannya.
Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan tersebut hingga melanggarnya; dan sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar daripada yang seharusnya, atau mungkin tidak usah sama sekali.
Miqdad lewat di depan hukuman tersebut yang sedang menangis berteriak-teriak. Ketika ditanyainya ia mengisahkan apa yang telah terjadi. Miqdad meraih tangan orang itu, dibawanya ke hadapan amir atau komandan, lalu dibicarakan dengannya keadaan bawahannya itu, hingga akhirnya tersingkaplah kesalahan dan kekeliruan amir itu. Maka kata Miqdad kepadanya: “Sekarang suruhlah ia membalas keterlanjuran anda dan berilah ia kesempatan untuk nielakukan qishash”‘
Sang amir tunduk dan bersedia . . . , hanya si terhukum berlapang dada dan memberinya ma’af.
Penciuman Miqdad yang tajam mengenai gentingnya suasana, dan keagungan Agama yang telah memberikan kepada mereka kebesaran ini, hingga katanya seakan-akan berdendang:
“Biar saya mati, asal Islam tetap jaya … ! “
Memang, itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus dibalas dengan nyawa sekalipun. Dan dengan keteguhan hati yang mena’jubkan ia berjuang bersama kawankawannya untuk mewujudkan cita-cita tersebut, hingga selayaknyalah ia beroleh kehormatan dari Rasulullah saw. menerima ucapan berikut:
“Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa la mencintaimu “.
Ya Allah bangkitkanlah dari antara kami dan anak cucu kami Miqdad-miqdad pahlawan, pejuang dan pembela Agama-Mu
0 comments:
Post a Comment