Fatimah Az Zahra
Fatimah Az Zahra
Ibnu ‘Abbas – seperti yang dikutip dari kitab Al-Bihar – meriwayatkan dari Rasulullah Saww yang bersabda, “Putriku Fathimah adalah penghulu wanita alam semesta, dahulu dan sekarang. Dia adalah bagian dariku dan cahaya mataku. Dialah belahan nyawaku; dialah bidadari insani (haura’ insiyyah) yang ketika berdiri shalat di mihrabnya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, cahayanya akan memancar kepada penghuni langit sebagaimana cahaya bintang gemintang memancar dan menerangi penghuni bumi.”
Ummu Salamah, ‘Asma binti Umais dan Ummu Sulaim menyaksikan bahwa Fathimah putri Nabi adalah wanita suci yang tidak pernah mengalami masa haidh dan nifas, yang dalam bahasa Arabnya disebut sebagai Al-Batul. Rasulullah Saww bersabda, “Fathimah bergelar al-batul adalah karena ia tidak pernah mengalami haidh dan nifas.2
Zaid bin ‘Ali meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq yang berkata bahwa (dari sekian banyak gelar) Fathimah juga bergelar al-muhaddatsah (yang diajak bicara). Hal ini karena Fathimah bisa berkomunikasi dengan malaikat sebagaimana Maryam binti ‘Imran.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as berkata, “Kami (Ahlul Bait) menyimpan secara turun temurun mush-haf 3 Fathimah. Tebalnya tiga kali lipat dari ukuran Alquran yang ada.”
Kemampuan Fathimah berkomunikasi dengan para malaikat ini tidak berimplikasi kerancuan teologis. Sebab, kata Al-Qazwini, wanita-wanita suci sebelum Fathimah, seperti Maryam binti ‘Imran, Sarah istri Nabi Ibrahim, dan ibunda Nabi Musa juga biasa berkomunikasi dengan para malaikat.4 Hal ini tidak terlalu sulit untuk bisa dipahami apabila kita sedikit bertafakur akan keluasan potensi manusia yang –sebagian darinya – berunsur Ilahi. Komunikasi dengan alam gaib pasti membuahkan hasil-hasil yang besar, baik secara kognitif, spiritual, maupun mental. Hal itu dibukukan oleh ‘Ali, suami Fathimah, yang kemudian dikenal dengan nama mushhaf Fathimah.
Ketekunan ibadah mahdhah Fathimah bukanlah sesuatu yang baru dalam lingkungan keluarga Nabi. Imam Hasan Al-Bashri, misalnya, pernah mengatakan, “Tidak ada orang di antara umat ini yang lebih banyak ibadahnya daripada Fathimah. Sedemikian banyaknya dia berdiri shalat hingga kedua kakinya membengkak.” 5 Salman Al-Farisi pernah menangis melihat “onggokan” jasad Fathimah di atas tikar sajadahnya. Jasad kurus itu diam dan sepertinya tak bernafas. Ketika hal itu dilaporkan kepada suaminya, ‘Ali hanya menjawab, “Begitulah keadaan Fathimah apabila ia berada dalam pelukan Sang Maha Kekasih.”
Khusyu’, fana, baqa dalam fana dan ikhlas yang dialami putri Khadijah ini bukan hanya pada ibadah mahdhah-nya saja, namun juga dalam ibadah ghairul mahdhah-nya, ibadah sosial. Surah Al-Insan [76] : 7-9 adalah sebaik-baik bukti betapa besar nilai ibadah sosialnya di sisi Allah Swt.
Dalam kitab Al-Bihar tertulis sebuah riwayat yang berasal dari Furat bin Ibrahim, dari Abu Said Al-Khudri yang melaporkan bahwa suatu hari ‘Ali bin Abi Thalib as memberikan sedekah kepada Miqdad bin Al-Aswad yang sangat memerlukan bantuan. Padahal ‘Ali dan keluarganya saat itu juga berada dalam keadaan yang sama. Al-Khudri berkata : “Ali keluar dari rumahnya dengan niat meminjam uang satu dinar untuk keperluan keluarganya. Setelah diperoleh uang tersebut dia berikan kepada Miqdad karena kondisinya yang lebih memerlukan. Sesampainya di masjid dan usai shalat berjamaah bersama Nabi, ‘Ali kemudian pulang ke rumahnya bersama dengan Nabi yang ingin mengunjungi putrinya. Di rumah, Nabi dan ‘Ali menjumpai berbagai jenis makanan yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan heran ‘Ali bertanya kepada Fathimah, “Darimana gerangan makanan ini datang ?”
“Nabi kemudian menjawab, “Wahai ‘Ali, inilah balasan Allah atas sedekahmu yang satu dinar. Sungguh Allah memberikan rezeki-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Sambil menangis Nabi kemudian memuji-muji Allah dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membalas amal-amal kebajikan kalian sebelum kelak di Hari Kemudian. Ya ‘Ali, sungguh Allah telah membalas amal baikmu sebagaimana yang telah Dia berikan kepada (Nabi) Zakaria, dan sungguh Allah juga telah membalas amal baik Fathimah sebagaimana yang telah Dia berikan kepada Maryam binti ‘Imran. Nabi kemudian membaca ayat berikut : “setiap kali Zakariyya masuk ke mihrabnya (Maryam), maka dia akan mendapati di dalamnya (terhidang) berbagai rezeki” (QS Ali ‘Imran, 3 : 37).
Ibnu ‘Abbas – seperti yang dikutip dari kitab Al-Bihar – meriwayatkan dari Rasulullah Saww yang bersabda, “Putriku Fathimah adalah penghulu wanita alam semesta, dahulu dan sekarang. Dia adalah bagian dariku dan cahaya mataku. Dialah belahan nyawaku; dialah bidadari insani (haura’ insiyyah) yang ketika berdiri shalat di mihrabnya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, cahayanya akan memancar kepada penghuni langit sebagaimana cahaya bintang gemintang memancar dan menerangi penghuni bumi.”
Ummu Salamah, ‘Asma binti Umais dan Ummu Sulaim menyaksikan bahwa Fathimah putri Nabi adalah wanita suci yang tidak pernah mengalami masa haidh dan nifas, yang dalam bahasa Arabnya disebut sebagai Al-Batul. Rasulullah Saww bersabda, “Fathimah bergelar al-batul adalah karena ia tidak pernah mengalami haidh dan nifas.2
Zaid bin ‘Ali meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq yang berkata bahwa (dari sekian banyak gelar) Fathimah juga bergelar al-muhaddatsah (yang diajak bicara). Hal ini karena Fathimah bisa berkomunikasi dengan malaikat sebagaimana Maryam binti ‘Imran.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as berkata, “Kami (Ahlul Bait) menyimpan secara turun temurun mush-haf 3 Fathimah. Tebalnya tiga kali lipat dari ukuran Alquran yang ada.”
Kemampuan Fathimah berkomunikasi dengan para malaikat ini tidak berimplikasi kerancuan teologis. Sebab, kata Al-Qazwini, wanita-wanita suci sebelum Fathimah, seperti Maryam binti ‘Imran, Sarah istri Nabi Ibrahim, dan ibunda Nabi Musa juga biasa berkomunikasi dengan para malaikat.4 Hal ini tidak terlalu sulit untuk bisa dipahami apabila kita sedikit bertafakur akan keluasan potensi manusia yang –sebagian darinya – berunsur Ilahi. Komunikasi dengan alam gaib pasti membuahkan hasil-hasil yang besar, baik secara kognitif, spiritual, maupun mental. Hal itu dibukukan oleh ‘Ali, suami Fathimah, yang kemudian dikenal dengan nama mushhaf Fathimah.
Ketekunan ibadah mahdhah Fathimah bukanlah sesuatu yang baru dalam lingkungan keluarga Nabi. Imam Hasan Al-Bashri, misalnya, pernah mengatakan, “Tidak ada orang di antara umat ini yang lebih banyak ibadahnya daripada Fathimah. Sedemikian banyaknya dia berdiri shalat hingga kedua kakinya membengkak.” 5 Salman Al-Farisi pernah menangis melihat “onggokan” jasad Fathimah di atas tikar sajadahnya. Jasad kurus itu diam dan sepertinya tak bernafas. Ketika hal itu dilaporkan kepada suaminya, ‘Ali hanya menjawab, “Begitulah keadaan Fathimah apabila ia berada dalam pelukan Sang Maha Kekasih.”
Khusyu’, fana, baqa dalam fana dan ikhlas yang dialami putri Khadijah ini bukan hanya pada ibadah mahdhah-nya saja, namun juga dalam ibadah ghairul mahdhah-nya, ibadah sosial. Surah Al-Insan [76] : 7-9 adalah sebaik-baik bukti betapa besar nilai ibadah sosialnya di sisi Allah Swt.
Dalam kitab Al-Bihar tertulis sebuah riwayat yang berasal dari Furat bin Ibrahim, dari Abu Said Al-Khudri yang melaporkan bahwa suatu hari ‘Ali bin Abi Thalib as memberikan sedekah kepada Miqdad bin Al-Aswad yang sangat memerlukan bantuan. Padahal ‘Ali dan keluarganya saat itu juga berada dalam keadaan yang sama. Al-Khudri berkata : “Ali keluar dari rumahnya dengan niat meminjam uang satu dinar untuk keperluan keluarganya. Setelah diperoleh uang tersebut dia berikan kepada Miqdad karena kondisinya yang lebih memerlukan. Sesampainya di masjid dan usai shalat berjamaah bersama Nabi, ‘Ali kemudian pulang ke rumahnya bersama dengan Nabi yang ingin mengunjungi putrinya. Di rumah, Nabi dan ‘Ali menjumpai berbagai jenis makanan yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan heran ‘Ali bertanya kepada Fathimah, “Darimana gerangan makanan ini datang ?”
“Nabi kemudian menjawab, “Wahai ‘Ali, inilah balasan Allah atas sedekahmu yang satu dinar. Sungguh Allah memberikan rezeki-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Sambil menangis Nabi kemudian memuji-muji Allah dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membalas amal-amal kebajikan kalian sebelum kelak di Hari Kemudian. Ya ‘Ali, sungguh Allah telah membalas amal baikmu sebagaimana yang telah Dia berikan kepada (Nabi) Zakaria, dan sungguh Allah juga telah membalas amal baik Fathimah sebagaimana yang telah Dia berikan kepada Maryam binti ‘Imran. Nabi kemudian membaca ayat berikut : “setiap kali Zakariyya masuk ke mihrabnya (Maryam), maka dia akan mendapati di dalamnya (terhidang) berbagai rezeki” (QS Ali ‘Imran, 3 : 37).
0 comments:
Post a Comment