Mbah Priok
Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad 'Mbah Priok" (1722-17xx)
Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad lahir di di Ulu, Palembang, Sumatera selatan, pada tahun 1291 H / 1870 M. Semasa kecil beliau mengaji kepada kakek dan ayahnya di Palembang. Saat remaja, beliau mengembara selama babarapa tahun ke Hadramaut, Yaman, untuk belajar agama, sekaligus menelusuri jejak leluhurnya, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Shohib Ratib Haddad, yang hingga kini masih dibaca sebagian besar kaum muslimin Indonesia. Beliau menetap beberapa tahun lamanya, setelah itu kembali ke tempat kelahirannya, di Ulu, Palembang
Ketika petani Banten, dibantu para Ulama, memberontak kepada kompeni Belanda (tahun 1880), banyak ulama melarikan diri ke Palembang; dan disana mereka mendapat perlindungan dari Habib Hasan. Tentu saja pemerintah kolonial tidak senang. Dan sejak itu, beliau selalu diincar oleh mata-mata Belanda.
Pada tahun 1899, ketika usianya 29 tahun, beliau berkunjung ke Jawa, ditemani saudaranya, Habib Ali Al-Haddad, dan tiga orang pembantunya, untuk berziarah ke makam Habib Husein Al Aydrus di Luar Batang, Jakarta Utara, Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sunan Ampel di Surabaya. Dalam perjalanan menggunakan perahu layar itu, beliau banyak menghadapi gangguan dan rintangan. Mata-mata kompeni Belanda selalu saja mengincarnya. Sebelum sampai di Batavia, perahunya di bombardier oleh Belanda. Tapi Alhamdulillah, seluruh rombongan hingga dapat melanjutkan perjalanan sampai di Batavia.
Dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua bulan itu, mereka sempat singgah di beberapa tempat. Hingga pada sebuah perjalanan, perahu mereka dihantam badai. Perahu terguncang, semua perbekalan tumpah ke laut. Untunglah masih tersisa sebagian peralatan dapur, antara lain periuk, dan beberapa liter beras. Untuk menanak nasi, mereka menggunakan beberapa potong kayu kapal sebagai bahan bakar. Beberapa hari kemudian, mereka kembali dihantam badai. Kali ini lebih besar. Perahu pecah, bahkan tenggelam, hingga tiga orang pengikutnya meninggal dunia. Dengan susah payah kedua Habib itu menyelamatkan diri dengan mengapung menggunakan beberapa batang kayu sisa perahu. Karena tidak makan selama 10 hari, akhirnya Habib Hasan jatuh sakit, dan selang beberapa lama kemudian beliaupun wafat.
Sementara Habib Ali Al-Haddad masih lemah, duduk di perahu bersama jenazah Habib Hasan, perahu terdorong oleh ombak-ombak kecil dan ikan lumba-lumba, sehingga terdampar di pantai utara Batavia. Para nelayan yang menemukannya segera menolong dan memakamkan jenazah Habib Hasan. Kayu dayung yang sudah patah digunakan sebagai nisan dibagian kepala; sementara di bagian kaki ditancapkan nisan dari sebatang kayu sebesar kaki anak-anak. Sementara periuk nasinya ditaruh disisi makam. Sebagai pertanda, di atas makamnya ditanam bunga tanjung. Masyarakat disekitar daerah itu melihat kuburan yang ada periuknya itu di malam hari selalu bercahaya. Lama-kelamaan masyarakat menamakan daerah tersebut Tanjung periuk. Sesuai yang mereka lihat di makam Habib Hasan, yairtu bunga tanjung dan periuk.
Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut.
Banyak orang yang bercerita bahwa, tiga atau empat tahun sekali, periuk tersebut di laut dengan ukuran kurang lebih sebesar rumah. Diantara orang yang menyaksikan kejadian itu adalah anggota TNI Angkatan Laut, sersan mayor Ismail. Tatkala bertugas di tengah malam, ia melihat langsung periuk tersebut.
Karena kejadian itulah, banyak orang menyebut daerah itu : Tanjung Periuk.
Sebenarnya tempat makam yang sekarang adalah makam pindahan dari makam asli. Awalnya ketika Belanda akan menggusur makam Habib Hasan, mereka tidak mampu, karena kuli-kuli yang diperintahkan untuk menggali menghilang secara misterius. Setiap malam mereka melihat orang berjubah putih yang sedang berdzikir dengan kemilau cahaya nan gemilang selalu duduk dekat nisan periuk itu. Akhirnya adik Habib Hasan, yaitu Habib Zein bin Muhammad Al-Haddad, dipanggil dari Palembang khusus untuk memimpin doa agar jasad Habib Hasan mudah dipindahkan. Berkat izin Allah swt, jenazah Habib Hasan yang masih utuh, kain kafannya juga utuh tanpa ada kerusakan sedikitpun, dipindahkan ke makam sekarang di kawasan Dobo, tidak jauh dari seksi satu sekarang.
Salah satu karomah Habib Hasan adalah suatu saat pernah orang mengancam Habib Hasan dengan singa, beliau lalu membalasnya dengan mengirim katak. Katak ini dengan cerdik lalu menaiki kepala singa dan mengencingi matanya. Singa kelabakan dan akhirnya lari terbirit-birit.
( Al – Kisah No. 07 / Tahun III / 28 Maret – 10 April 2005 & No. 08 / Tahun IV / 10-23 April 2006 )
Sebuah kisah lain,
MAKAM Habib Hasan bin Muhammad al Haddad atau lebih dikenal makam Mbah Priuk, di Koja, Jakarta Utara banyak menyimpan cerita sejarah sehingga sangat dihormati warga, dan ketika pendopo makam akan dibongkar pemerintah, para pengikutnya rela mati memerlahankannya.
Menurut cerita. Habib Hasan merupakan salah salu tokoh yang dikenal sebagai pensyiar agama Islam yangmenempati kawasan Tanjung Priok, meskipun ia berasal dari Pulau Sumatera. Awal masuknya Habib di Kota Jakarta ketika masih bernama Batavia karena perahu ditumpanginya dihajar badai ketika hendak melintas di dekat Batavia. Namun ketika peris tiuia berlangsung. Habib selamat dari hantaman dan amukan badai sehingga Habibberhasil menepi dengan perahu yang ditumpanginya, dan Habib pun bersyukur kepada Allah SWT yimg telah memberikan umur panjang.
Selama Habib di Jakarta, ia gencar melakukan syiar Islam di kawasan Jakarta Utara serta kawasan itu dinamai Tanjung Priok. Selain melakukan syiar Islam. Habibjuga mendirikan majelis taklim dan membangun masjid di tempat itu.
Seirama dengan berjalannya waktu. Habib Hasan bin Muhammad al Haddad meninggal dunia di tanahpertama kali ia menginjakkan kakinya Tanjung Priok. Untuk mengenang perjuangan almarhum Habib, para pengikutnya membangun makam yang diberi nama “Makam Mbah Priuk” sekaligus masjid untuk kegiatan majelis taklim.
Sedikitnya sebanyak 1.500 orang pengikut Mbah Priuk” melakukan pengajian di makam Habib setiap malam, sehingga betapa melekatnya rasa persaudaraan antar-pengikut dengan Mbah Priuk itu. Hingga akhirnya limliul kasus sengketa yangdinyatakan bangunan pendopo Mbah Priok dinyatakan berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II sehingga menyalahi aturan dan harus-ditertibkan.
Beberapa tahun lalu upaya penertiban pendopo Mbah Priuk akan direalisasikan tapi para ahli waris makam Mbah Priuk menolak keras, yang hingga akhirnya Rabu 114/4) pemerintah setempat mengerahkan petugas untuk mengeksekusi Dari aksi penertiban itu pengikut Habib AU Zaenal Abidin bin Abdulrahman Al Idrus dan Habib Abdullal\ Sting, ahli warts makam Mbah Priuk terpaksa melawan, merekamenghadang laju petugas hingga akhirnya bentrok fisik pecah dan korban berjatuhan.
Mengenai kebijakan eksekusi WakU Walikota Jakarta Utara Atma Sanjaya mengatakan bahwa penertiban gapura dan pendopo di makam Mlxih Priuk ini sudah sesuai dengan Instruksi Gubernur DKI nomor 132/2009 tentang Penertiban Bangunan. Sebab, kata dia. bangunan itu berdiri di alas lahan milik PT Pelindo tt. sesuai dengan hak pengelolaan lation (HPU Nomor Ol/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi
Sebaliknya, bagi ahli marts makam Mbah Priuk, rencanapembongkaran Justru menyalahi aturan. Sebab, areal pemakaman dan masjid ini telah memiliki serttjikatresml yang dikeluarkan pada zaman pendudukan Belanda. Ada yang menyebut makam ini sebenarnya sudah dipindahkan ke TPU Semper pada tanggal 21 Agustus 1997 dengan surat keputusan No 80/-177.11 dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI. Pihak Pemprov menyatakan, tidak pernah akan melakukan penggusuran, namunhanya upaya eksekusi lahan dan bangunan liar di kawasan makam yang merupakan lahan milik Pelindo
Berita-berita penggusuran,
Makam Mbah Priok Bisa Dibongkar Paksa
Petugas Satpol PP Jakarta Utara dan Satpol PP DKI Jakarta akan dikerahkan.
VIVAnews – Walikota Jakarta Utara Bambang Sugiyono memberi waktu tujuh hari kepada pengelola Makam Mbah Priok atau Habib Al Haddad untuk membongkar sendiri bangunan yang ada di sekitar makam untuk pembangunan taman dan monumen.
Bila batas waktu yang diberikan telah habis pada Jumat 12 Maret 2010, pembongkaran belum dilakukan, pihaknya akan mengerahkan petugas Satpol PP Jakarta Utara dan Satpol PP DKI Jakarta untuk melakukan penertiban paksa.
Terkait rencana ini, pengelola Makam Mbah Priok menegaskan tetap bertahan dan akan melakukan perlawanan jika Pemprov DKI Jakarta dan Walikota Jakarta Utara nekat melakukan pembongkaran.
“Ya benar kami sudah terima surat instruksi gubernur untuk pemindahan makam. Sekarang kami lagi berjaga-jaga. Kami akan lawan mereka,” ujar Habib Ali, pengurus Makam Mbah Priok, seperti dikutip situs milik Pemerintah DKI, Sabtu 6 Maret 2010.
Menurut Habib Ali, semenjak datangnya surat instruksi gubernur tersebut, warga dan santri siap berjaga-jaga agar Makam Mbak Priok tidak sampai digusur.
“Senjata tajam kami punya untuk melindungi lokasi kami, dan ini adalah tanah kami. Sampai saat ini kami masih berjaga, belum tahu kapan dilakukan pembongkaran,” tandasnya. Pengosongan areal makam itu juga menindaklanjuti Instruksi Gubernur (Ingub) No 132/2009 tanggal 9 September 2009.
“Saat ini kami belum bisa melakukan perbaikan kerena ahli waris meminta makam tidak dibongkar. Mereka juga meminta dana ganti rugi tanah sebesar Rp 2 juta per meter persegi dari 53.054 M2 yang dipakai sebagai padepokan dan gapura,” jelasnya.
Kisah Panjang Makam Keramat Mbah Priok
Upaya membongkar makam Mbah Priok di Koja, bukan kali ini saja. Semua gagal.
Kamis, 15 April 2010, 06:28 WIB
VIVAnews – Darah tertumpah di muka makam keramat Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, Rabu 14 April 2010. Kerusuhan antara aparat dan warga diwarnai berbagai aksi kekerasan.
Ada yang tewas tergeletak, sementara korban-korban lain berjatuhan karena sabetan kelewang, diinjak-injak, dan jadi sasaran pukulan — demi sebuah tanah makam.
Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang melegenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok.
Mbah Priok bukan orang asli Jakarta. Dia dilahirkan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan pada 1722 dengan nama Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A.
Al Imam Al Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum akhirnya pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam ilmu agama.
Menjadi penyebar syiar Islam adalah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam usia 29 tahun, dia pergi ke Pulau Jawa.
Al Imam Al Arif Billah tak sendirian, dia pergi bersama Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad dan tiga orang lainnya menggunakan perahu.
Konon, dalam perjalanannya, rombongan dikejar-kejar tentara Belanda. Namun, mereka tak takluk.
Dalam perjalanan yang makan waktu dua bulan, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak. Semua perbekalan tercebur, tinggal beberapa liter beras yang tercecer dan periuk untuk menanak nasi.
Suatu saat rombongan ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun habis dibakar. Saat itu, Mbah Priok memasukan periuk berisi beras ke jubahnya. Dengan doa, beras dalam periuk berubah menjadi nasi.
Cobaan belum berakhir, beberapa hari kemudian datang ombak besar disertai hujan dan guntur. Perahu tak bisa dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sedangkan Al Imam Al Arif Billah dan Al Arif Billah Al Habib harus susah payah mencapai perahu hingga perahu yang saat itu dalam posisi terbalik.
Dalam kondisi terjepit dan tubuh lemah, keduanya salat berjamaah dan berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini berlangsung 10 hari, sehingga wafatlah Al Imam Al Arif Billah.
Sedangkan Al Arif Billah Al Habib alam kondisi lemah duduk diatas perahu disertai priuk dan sebuah dayung — terdorong ombak dan diiringi lumba-lumba menuju pantai.
Kejadian itu disaksikan beberapa orang yang langsung memberi bantuan. Jenazah Al Imam Al Arif Billah dimakamkan. Dayung yang yang sudah pendek ditancapkan sebagai nisan. Di bagian kaki ditancapkan kayu sebesar lengan anak kecil — yang akhirnya tumbuh menjadi pohon tanjung.
Sementara periuk nasi yang bisa menanak beras secara ajaib ditaruh di sisi makam. Konon — periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut.
Banyak orang mengaku jadi saksi, 3 atau 4 tahun sekali periuk itu timbul di laut dengan ukuran sebesar rumah.
Berdasarkan kejadian itu, daerah tersebut akhirnya dinamakan dengan Tanjung Priuk, ada juga yang menyebut Pondok Dayung — yang artinya dayung pendek. Nama Al Imam Al Arif Billah pun dikenal jadi ‘Mbah Priok’.
Rekan perjalanan Mbah Priok, Al Arif Billah Habib Ali Al Haddad dikabarkan sempat menetap di daerah itu. Dia lalu melanjutkan perjalanannya hingga berakhir di Sumbawa.
****
Dikisahkan, rencana pembongkaran makam Mbah Priok bukan kali ini saja.
Konon, ketika Belanda berkuasa, pemerintah kolonial ingin membongkar makam ini tiba terdengar ledakan keras dan sinar dari dalam makam, sehingga urung dibongkar.
Pada era Orde Baru, pembongkaran juga direncanakan. Namun yang terjadi, buldozer untuk membongkar makam yang dikeramatkan itu meledak. Korban jiwa pun jatuh.
Rencana pembongkaran terakhir sebenarnya direncanakan sejak 2004 lalu. Namun, baru hari ini terealisasi.
Ratusan Satpol PP dibantu kepolisian mengeksekusi lahan — yang menurut instruksi gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan — berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.
Pemerintah DKI berdalih tidak akan membongkar makam. Kepala Bidang Informasi dan Publikasi Pemprov DKI Cucu Ahmad Kurnia mengatakan makam itu akan dijadikan monumen dan cagar budaya. Bukan digusur.
Apalagi, kata Cucu, jasad Mbah Priok sudah tidak ada di sana. Jasad itu sudah dipindahkan ke TPU Semper.
Menurut surat Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta pada 10 Februari 2009, jasad Mbah Priok dipindahkan pada 21 Agustus 1997. Sebagian lagi jasadnya dibawa ahli waris ke luar kota.
Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad lahir di di Ulu, Palembang, Sumatera selatan, pada tahun 1291 H / 1870 M. Semasa kecil beliau mengaji kepada kakek dan ayahnya di Palembang. Saat remaja, beliau mengembara selama babarapa tahun ke Hadramaut, Yaman, untuk belajar agama, sekaligus menelusuri jejak leluhurnya, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Shohib Ratib Haddad, yang hingga kini masih dibaca sebagian besar kaum muslimin Indonesia. Beliau menetap beberapa tahun lamanya, setelah itu kembali ke tempat kelahirannya, di Ulu, Palembang
Ketika petani Banten, dibantu para Ulama, memberontak kepada kompeni Belanda (tahun 1880), banyak ulama melarikan diri ke Palembang; dan disana mereka mendapat perlindungan dari Habib Hasan. Tentu saja pemerintah kolonial tidak senang. Dan sejak itu, beliau selalu diincar oleh mata-mata Belanda.
Pada tahun 1899, ketika usianya 29 tahun, beliau berkunjung ke Jawa, ditemani saudaranya, Habib Ali Al-Haddad, dan tiga orang pembantunya, untuk berziarah ke makam Habib Husein Al Aydrus di Luar Batang, Jakarta Utara, Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sunan Ampel di Surabaya. Dalam perjalanan menggunakan perahu layar itu, beliau banyak menghadapi gangguan dan rintangan. Mata-mata kompeni Belanda selalu saja mengincarnya. Sebelum sampai di Batavia, perahunya di bombardier oleh Belanda. Tapi Alhamdulillah, seluruh rombongan hingga dapat melanjutkan perjalanan sampai di Batavia.
Dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua bulan itu, mereka sempat singgah di beberapa tempat. Hingga pada sebuah perjalanan, perahu mereka dihantam badai. Perahu terguncang, semua perbekalan tumpah ke laut. Untunglah masih tersisa sebagian peralatan dapur, antara lain periuk, dan beberapa liter beras. Untuk menanak nasi, mereka menggunakan beberapa potong kayu kapal sebagai bahan bakar. Beberapa hari kemudian, mereka kembali dihantam badai. Kali ini lebih besar. Perahu pecah, bahkan tenggelam, hingga tiga orang pengikutnya meninggal dunia. Dengan susah payah kedua Habib itu menyelamatkan diri dengan mengapung menggunakan beberapa batang kayu sisa perahu. Karena tidak makan selama 10 hari, akhirnya Habib Hasan jatuh sakit, dan selang beberapa lama kemudian beliaupun wafat.
Sementara Habib Ali Al-Haddad masih lemah, duduk di perahu bersama jenazah Habib Hasan, perahu terdorong oleh ombak-ombak kecil dan ikan lumba-lumba, sehingga terdampar di pantai utara Batavia. Para nelayan yang menemukannya segera menolong dan memakamkan jenazah Habib Hasan. Kayu dayung yang sudah patah digunakan sebagai nisan dibagian kepala; sementara di bagian kaki ditancapkan nisan dari sebatang kayu sebesar kaki anak-anak. Sementara periuk nasinya ditaruh disisi makam. Sebagai pertanda, di atas makamnya ditanam bunga tanjung. Masyarakat disekitar daerah itu melihat kuburan yang ada periuknya itu di malam hari selalu bercahaya. Lama-kelamaan masyarakat menamakan daerah tersebut Tanjung periuk. Sesuai yang mereka lihat di makam Habib Hasan, yairtu bunga tanjung dan periuk.
Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut.
Banyak orang yang bercerita bahwa, tiga atau empat tahun sekali, periuk tersebut di laut dengan ukuran kurang lebih sebesar rumah. Diantara orang yang menyaksikan kejadian itu adalah anggota TNI Angkatan Laut, sersan mayor Ismail. Tatkala bertugas di tengah malam, ia melihat langsung periuk tersebut.
Karena kejadian itulah, banyak orang menyebut daerah itu : Tanjung Periuk.
Sebenarnya tempat makam yang sekarang adalah makam pindahan dari makam asli. Awalnya ketika Belanda akan menggusur makam Habib Hasan, mereka tidak mampu, karena kuli-kuli yang diperintahkan untuk menggali menghilang secara misterius. Setiap malam mereka melihat orang berjubah putih yang sedang berdzikir dengan kemilau cahaya nan gemilang selalu duduk dekat nisan periuk itu. Akhirnya adik Habib Hasan, yaitu Habib Zein bin Muhammad Al-Haddad, dipanggil dari Palembang khusus untuk memimpin doa agar jasad Habib Hasan mudah dipindahkan. Berkat izin Allah swt, jenazah Habib Hasan yang masih utuh, kain kafannya juga utuh tanpa ada kerusakan sedikitpun, dipindahkan ke makam sekarang di kawasan Dobo, tidak jauh dari seksi satu sekarang.
Salah satu karomah Habib Hasan adalah suatu saat pernah orang mengancam Habib Hasan dengan singa, beliau lalu membalasnya dengan mengirim katak. Katak ini dengan cerdik lalu menaiki kepala singa dan mengencingi matanya. Singa kelabakan dan akhirnya lari terbirit-birit.
( Al – Kisah No. 07 / Tahun III / 28 Maret – 10 April 2005 & No. 08 / Tahun IV / 10-23 April 2006 )
Sebuah kisah lain,
MAKAM Habib Hasan bin Muhammad al Haddad atau lebih dikenal makam Mbah Priuk, di Koja, Jakarta Utara banyak menyimpan cerita sejarah sehingga sangat dihormati warga, dan ketika pendopo makam akan dibongkar pemerintah, para pengikutnya rela mati memerlahankannya.
Menurut cerita. Habib Hasan merupakan salah salu tokoh yang dikenal sebagai pensyiar agama Islam yangmenempati kawasan Tanjung Priok, meskipun ia berasal dari Pulau Sumatera. Awal masuknya Habib di Kota Jakarta ketika masih bernama Batavia karena perahu ditumpanginya dihajar badai ketika hendak melintas di dekat Batavia. Namun ketika peris tiuia berlangsung. Habib selamat dari hantaman dan amukan badai sehingga Habibberhasil menepi dengan perahu yang ditumpanginya, dan Habib pun bersyukur kepada Allah SWT yimg telah memberikan umur panjang.
Selama Habib di Jakarta, ia gencar melakukan syiar Islam di kawasan Jakarta Utara serta kawasan itu dinamai Tanjung Priok. Selain melakukan syiar Islam. Habibjuga mendirikan majelis taklim dan membangun masjid di tempat itu.
Seirama dengan berjalannya waktu. Habib Hasan bin Muhammad al Haddad meninggal dunia di tanahpertama kali ia menginjakkan kakinya Tanjung Priok. Untuk mengenang perjuangan almarhum Habib, para pengikutnya membangun makam yang diberi nama “Makam Mbah Priuk” sekaligus masjid untuk kegiatan majelis taklim.
Sedikitnya sebanyak 1.500 orang pengikut Mbah Priuk” melakukan pengajian di makam Habib setiap malam, sehingga betapa melekatnya rasa persaudaraan antar-pengikut dengan Mbah Priuk itu. Hingga akhirnya limliul kasus sengketa yangdinyatakan bangunan pendopo Mbah Priok dinyatakan berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II sehingga menyalahi aturan dan harus-ditertibkan.
Beberapa tahun lalu upaya penertiban pendopo Mbah Priuk akan direalisasikan tapi para ahli waris makam Mbah Priuk menolak keras, yang hingga akhirnya Rabu 114/4) pemerintah setempat mengerahkan petugas untuk mengeksekusi Dari aksi penertiban itu pengikut Habib AU Zaenal Abidin bin Abdulrahman Al Idrus dan Habib Abdullal\ Sting, ahli warts makam Mbah Priuk terpaksa melawan, merekamenghadang laju petugas hingga akhirnya bentrok fisik pecah dan korban berjatuhan.
Mengenai kebijakan eksekusi WakU Walikota Jakarta Utara Atma Sanjaya mengatakan bahwa penertiban gapura dan pendopo di makam Mlxih Priuk ini sudah sesuai dengan Instruksi Gubernur DKI nomor 132/2009 tentang Penertiban Bangunan. Sebab, kata dia. bangunan itu berdiri di alas lahan milik PT Pelindo tt. sesuai dengan hak pengelolaan lation (HPU Nomor Ol/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi
Sebaliknya, bagi ahli marts makam Mbah Priuk, rencanapembongkaran Justru menyalahi aturan. Sebab, areal pemakaman dan masjid ini telah memiliki serttjikatresml yang dikeluarkan pada zaman pendudukan Belanda. Ada yang menyebut makam ini sebenarnya sudah dipindahkan ke TPU Semper pada tanggal 21 Agustus 1997 dengan surat keputusan No 80/-177.11 dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI. Pihak Pemprov menyatakan, tidak pernah akan melakukan penggusuran, namunhanya upaya eksekusi lahan dan bangunan liar di kawasan makam yang merupakan lahan milik Pelindo
Berita-berita penggusuran,
Makam Mbah Priok Bisa Dibongkar Paksa
Petugas Satpol PP Jakarta Utara dan Satpol PP DKI Jakarta akan dikerahkan.
VIVAnews – Walikota Jakarta Utara Bambang Sugiyono memberi waktu tujuh hari kepada pengelola Makam Mbah Priok atau Habib Al Haddad untuk membongkar sendiri bangunan yang ada di sekitar makam untuk pembangunan taman dan monumen.
Bila batas waktu yang diberikan telah habis pada Jumat 12 Maret 2010, pembongkaran belum dilakukan, pihaknya akan mengerahkan petugas Satpol PP Jakarta Utara dan Satpol PP DKI Jakarta untuk melakukan penertiban paksa.
Terkait rencana ini, pengelola Makam Mbah Priok menegaskan tetap bertahan dan akan melakukan perlawanan jika Pemprov DKI Jakarta dan Walikota Jakarta Utara nekat melakukan pembongkaran.
“Ya benar kami sudah terima surat instruksi gubernur untuk pemindahan makam. Sekarang kami lagi berjaga-jaga. Kami akan lawan mereka,” ujar Habib Ali, pengurus Makam Mbah Priok, seperti dikutip situs milik Pemerintah DKI, Sabtu 6 Maret 2010.
Menurut Habib Ali, semenjak datangnya surat instruksi gubernur tersebut, warga dan santri siap berjaga-jaga agar Makam Mbak Priok tidak sampai digusur.
“Senjata tajam kami punya untuk melindungi lokasi kami, dan ini adalah tanah kami. Sampai saat ini kami masih berjaga, belum tahu kapan dilakukan pembongkaran,” tandasnya. Pengosongan areal makam itu juga menindaklanjuti Instruksi Gubernur (Ingub) No 132/2009 tanggal 9 September 2009.
“Saat ini kami belum bisa melakukan perbaikan kerena ahli waris meminta makam tidak dibongkar. Mereka juga meminta dana ganti rugi tanah sebesar Rp 2 juta per meter persegi dari 53.054 M2 yang dipakai sebagai padepokan dan gapura,” jelasnya.
Kisah Panjang Makam Keramat Mbah Priok
Upaya membongkar makam Mbah Priok di Koja, bukan kali ini saja. Semua gagal.
Kamis, 15 April 2010, 06:28 WIB
VIVAnews – Darah tertumpah di muka makam keramat Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, Rabu 14 April 2010. Kerusuhan antara aparat dan warga diwarnai berbagai aksi kekerasan.
Ada yang tewas tergeletak, sementara korban-korban lain berjatuhan karena sabetan kelewang, diinjak-injak, dan jadi sasaran pukulan — demi sebuah tanah makam.
Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang melegenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok.
Mbah Priok bukan orang asli Jakarta. Dia dilahirkan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan pada 1722 dengan nama Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A.
Al Imam Al Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum akhirnya pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam ilmu agama.
Menjadi penyebar syiar Islam adalah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam usia 29 tahun, dia pergi ke Pulau Jawa.
Al Imam Al Arif Billah tak sendirian, dia pergi bersama Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad dan tiga orang lainnya menggunakan perahu.
Konon, dalam perjalanannya, rombongan dikejar-kejar tentara Belanda. Namun, mereka tak takluk.
Dalam perjalanan yang makan waktu dua bulan, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak. Semua perbekalan tercebur, tinggal beberapa liter beras yang tercecer dan periuk untuk menanak nasi.
Suatu saat rombongan ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun habis dibakar. Saat itu, Mbah Priok memasukan periuk berisi beras ke jubahnya. Dengan doa, beras dalam periuk berubah menjadi nasi.
Cobaan belum berakhir, beberapa hari kemudian datang ombak besar disertai hujan dan guntur. Perahu tak bisa dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sedangkan Al Imam Al Arif Billah dan Al Arif Billah Al Habib harus susah payah mencapai perahu hingga perahu yang saat itu dalam posisi terbalik.
Dalam kondisi terjepit dan tubuh lemah, keduanya salat berjamaah dan berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini berlangsung 10 hari, sehingga wafatlah Al Imam Al Arif Billah.
Sedangkan Al Arif Billah Al Habib alam kondisi lemah duduk diatas perahu disertai priuk dan sebuah dayung — terdorong ombak dan diiringi lumba-lumba menuju pantai.
Kejadian itu disaksikan beberapa orang yang langsung memberi bantuan. Jenazah Al Imam Al Arif Billah dimakamkan. Dayung yang yang sudah pendek ditancapkan sebagai nisan. Di bagian kaki ditancapkan kayu sebesar lengan anak kecil — yang akhirnya tumbuh menjadi pohon tanjung.
Sementara periuk nasi yang bisa menanak beras secara ajaib ditaruh di sisi makam. Konon — periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut.
Banyak orang mengaku jadi saksi, 3 atau 4 tahun sekali periuk itu timbul di laut dengan ukuran sebesar rumah.
Berdasarkan kejadian itu, daerah tersebut akhirnya dinamakan dengan Tanjung Priuk, ada juga yang menyebut Pondok Dayung — yang artinya dayung pendek. Nama Al Imam Al Arif Billah pun dikenal jadi ‘Mbah Priok’.
Rekan perjalanan Mbah Priok, Al Arif Billah Habib Ali Al Haddad dikabarkan sempat menetap di daerah itu. Dia lalu melanjutkan perjalanannya hingga berakhir di Sumbawa.
****
Dikisahkan, rencana pembongkaran makam Mbah Priok bukan kali ini saja.
Konon, ketika Belanda berkuasa, pemerintah kolonial ingin membongkar makam ini tiba terdengar ledakan keras dan sinar dari dalam makam, sehingga urung dibongkar.
Pada era Orde Baru, pembongkaran juga direncanakan. Namun yang terjadi, buldozer untuk membongkar makam yang dikeramatkan itu meledak. Korban jiwa pun jatuh.
Rencana pembongkaran terakhir sebenarnya direncanakan sejak 2004 lalu. Namun, baru hari ini terealisasi.
Ratusan Satpol PP dibantu kepolisian mengeksekusi lahan — yang menurut instruksi gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan — berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.
Pemerintah DKI berdalih tidak akan membongkar makam. Kepala Bidang Informasi dan Publikasi Pemprov DKI Cucu Ahmad Kurnia mengatakan makam itu akan dijadikan monumen dan cagar budaya. Bukan digusur.
Apalagi, kata Cucu, jasad Mbah Priok sudah tidak ada di sana. Jasad itu sudah dipindahkan ke TPU Semper.
Menurut surat Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta pada 10 Februari 2009, jasad Mbah Priok dipindahkan pada 21 Agustus 1997. Sebagian lagi jasadnya dibawa ahli waris ke luar kota.
0 comments:
Post a Comment