Sultan Hasanudin Banten
Sultan Maulana Hasanudin
Sultan Maulana Hasanudin adalah tokoh besar di kawasan barat Pulau Jawa. Dari beberapa sumber, diperoleh keterangan bahwa, Sultan Hasanudin Banten atau yang bernama lengkap Sultan Maulana Hasanuddin memiliki peran penting menyebarkan agama Islam di Banten.
Ia pendiri kesultanan Banten, sekaligus menjadi penguasa pertama kerajaan Islam di Banten dalam rentang waktu 1552 – 1570. Sultan Hasanudin adalah putra kedua dari Nyi Kawunganten, putri dari Prabu Surasowan yang saat itu menjabat sebagai Bupati Banten dan Syaikh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Songo.
Sejak kecil Sultan Hasanudin telah diberi gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin oleh kakeknya, Prabu Surasowan. Begitu Sang Prabu wafat, kedudukannya diwariskan pada putranya yang bernama Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun yang kemudian memerintah di wilayah Banten Girang, di bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran. Pada masa itu agama yang diakui secara resmi Hindu.
Sementara itu, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon untuk menduduki posisi bupati Cirebon menggantikan pangeran Cakrabuana yang wafat, pangeran Hasanudin lebih memilih tetap tinggal di Banten untuk menjadi guru agama Islam, dan mendirikan pesantren.
Selanjutnya, ia dikenal memiliki banyak santri sehingga diberi gelar Syekh. Sejak itu, ketenarannya jauh melampaui karisma Bupati Banten, yaitu pamannya sendiri Prabu Pucuk Umun. Dan sejak itulah, hubungan keduanya berubah tidak harmonis.
Meskipun berbeda tempat, namun Syekh Hasanudin tetap sering bersilaturahmi dan mengunjungi ayahnya di Cirebon. Waktu berlalu, hingga suatu hari Sunan Gunung Jati memberi tugas kepada anaknya untuk melanjutkan tugasnya menyebarkan dakwah di Kota Banten karena ilmu agama Syekh Hasanudin yang dianggap telah berkecukupan.
Tugas itu pun disanggupi Syekh Hasanudin. Bersama para santri didikannya, ia menyebarkan dakwah Islam dari gunung ke gunung di sekitar Banten hingga ke Ujung Kulon.
Upaya Sultan Hasanudin Banten dalam menyebarkan agama Islam bukan tak mengalami hambatan, yang terbesar justru datang dari pamannya sendiri yaitu Prabu Pucuk Umun. Ia bersikeras ingin mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan (agama Hindu yang dipengaruhi kepercayaan animisme) sebagai satu-satunya agama resmi. Hal ini tidak menggetarkan semangat Syekh Hasanudin, ia justru terus menyebarkan dakwah Islam dengan gencar.
Akibatnya, Prabu Pucuk Umun menantang keponakannya untuk berperang. Bukan duel, melainkan adu ayam jago untuk menghindari jatuhnya korban jiwa. Jika ayam jago Pucuk Umun kalah, maka jabatannya sebagai Bupati Banten Girang akan diserahkan pada Syekh Hasanudin, dan sebaliknya, jika ayam jago Sultan Hasanudin yang kalah, maka dakwahnya harus dihentikan. Tantangan itu pun diterima Syekh Hasanudin.
Duel dilakukan di lereng Gunung Karang, dan dimenangkan oleh Syekh Hasanudin. Setelah memenangkan duel tersebut, Pucuk Umun menepati janjinya dengan menyerahkan tahta Bupati Banten.
Selanjutnya, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri ke pedalaman Banten, tepatnya di sekitar Gunung Kendeng. Atas perintah Pucuk Umun, para pengikutnya diminta menjaga serta mengelola kawasan tersebut. Konon inilah yang menjadi awal mula urang Kanekes yang dikenal juga dengan sebutan Suku Baduy.
Sementara itu, para pengikut Pucuk Umun lainnya yang sebagian besar terdiri dari punggawa dan pendeta lantas menyatakan masuk Islam. Atas keberhasilannya, Syekh Hasanudin diangkat sebagai bupati Banten. Pemerintahan di Banten Girang kemudian dipindah ke Banten Lor di Utara pulau Jawa.
Dari sinilah, tangan dingin Syekh Hasanudin terbukti mampu memajukan segala bidang. Ketika akhirnya Banten berubah menjadi kesultanan, Sultan Maulana Hasanudin menjadi Sultan pertama Banten.
Sultan Maulana Hasanudin adalah tokoh besar di kawasan barat Pulau Jawa. Dari beberapa sumber, diperoleh keterangan bahwa, Sultan Hasanudin Banten atau yang bernama lengkap Sultan Maulana Hasanuddin memiliki peran penting menyebarkan agama Islam di Banten.
Ia pendiri kesultanan Banten, sekaligus menjadi penguasa pertama kerajaan Islam di Banten dalam rentang waktu 1552 – 1570. Sultan Hasanudin adalah putra kedua dari Nyi Kawunganten, putri dari Prabu Surasowan yang saat itu menjabat sebagai Bupati Banten dan Syaikh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Songo.
Sejak kecil Sultan Hasanudin telah diberi gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin oleh kakeknya, Prabu Surasowan. Begitu Sang Prabu wafat, kedudukannya diwariskan pada putranya yang bernama Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun yang kemudian memerintah di wilayah Banten Girang, di bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran. Pada masa itu agama yang diakui secara resmi Hindu.
Sementara itu, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon untuk menduduki posisi bupati Cirebon menggantikan pangeran Cakrabuana yang wafat, pangeran Hasanudin lebih memilih tetap tinggal di Banten untuk menjadi guru agama Islam, dan mendirikan pesantren.
Selanjutnya, ia dikenal memiliki banyak santri sehingga diberi gelar Syekh. Sejak itu, ketenarannya jauh melampaui karisma Bupati Banten, yaitu pamannya sendiri Prabu Pucuk Umun. Dan sejak itulah, hubungan keduanya berubah tidak harmonis.
Meskipun berbeda tempat, namun Syekh Hasanudin tetap sering bersilaturahmi dan mengunjungi ayahnya di Cirebon. Waktu berlalu, hingga suatu hari Sunan Gunung Jati memberi tugas kepada anaknya untuk melanjutkan tugasnya menyebarkan dakwah di Kota Banten karena ilmu agama Syekh Hasanudin yang dianggap telah berkecukupan.
Tugas itu pun disanggupi Syekh Hasanudin. Bersama para santri didikannya, ia menyebarkan dakwah Islam dari gunung ke gunung di sekitar Banten hingga ke Ujung Kulon.
Upaya Sultan Hasanudin Banten dalam menyebarkan agama Islam bukan tak mengalami hambatan, yang terbesar justru datang dari pamannya sendiri yaitu Prabu Pucuk Umun. Ia bersikeras ingin mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan (agama Hindu yang dipengaruhi kepercayaan animisme) sebagai satu-satunya agama resmi. Hal ini tidak menggetarkan semangat Syekh Hasanudin, ia justru terus menyebarkan dakwah Islam dengan gencar.
Akibatnya, Prabu Pucuk Umun menantang keponakannya untuk berperang. Bukan duel, melainkan adu ayam jago untuk menghindari jatuhnya korban jiwa. Jika ayam jago Pucuk Umun kalah, maka jabatannya sebagai Bupati Banten Girang akan diserahkan pada Syekh Hasanudin, dan sebaliknya, jika ayam jago Sultan Hasanudin yang kalah, maka dakwahnya harus dihentikan. Tantangan itu pun diterima Syekh Hasanudin.
Duel dilakukan di lereng Gunung Karang, dan dimenangkan oleh Syekh Hasanudin. Setelah memenangkan duel tersebut, Pucuk Umun menepati janjinya dengan menyerahkan tahta Bupati Banten.
Selanjutnya, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri ke pedalaman Banten, tepatnya di sekitar Gunung Kendeng. Atas perintah Pucuk Umun, para pengikutnya diminta menjaga serta mengelola kawasan tersebut. Konon inilah yang menjadi awal mula urang Kanekes yang dikenal juga dengan sebutan Suku Baduy.
Sementara itu, para pengikut Pucuk Umun lainnya yang sebagian besar terdiri dari punggawa dan pendeta lantas menyatakan masuk Islam. Atas keberhasilannya, Syekh Hasanudin diangkat sebagai bupati Banten. Pemerintahan di Banten Girang kemudian dipindah ke Banten Lor di Utara pulau Jawa.
Dari sinilah, tangan dingin Syekh Hasanudin terbukti mampu memajukan segala bidang. Ketika akhirnya Banten berubah menjadi kesultanan, Sultan Maulana Hasanudin menjadi Sultan pertama Banten.
0 comments:
Post a Comment