Abdullah Bin Ubay
Abdulah Bin Ubay [Bapak Kaum Munafik]
Abdullah bin Ubay dikenal juga dengan nama Ibnu Salul (631) adalah pemimpin dari Bani Khazraj yang juga merupakan pemimpin di kota Madinah.
Menghasut Konflik Muhajirin dan Anshar
Ketika terjadi pertengkaran antara Jahjah bin Mas’ud al-Ghifari dan Sinan bin Mas’ud al-Juhani yang akhirnya menyulut pertengkaran antara kelompok Muhajirin dan Anshar, datanglah seorang Abdullah bin Ubay bin Salul yang memafaatkan situasi tersebut untuk memecah belah muslim Muhajirin dan Anshar.
Ibn Ubay kemudian berpidato di depan kaum Anshar.
“Lihatlah! Orang-orang yang telah kalian tolong dan diberikan tempat tinggal ternyata telah mengkhianati kalian. Wahai kaumku, jika kalian mencintai diri kalian, janganlah kalian menolong kaum Muhajirin lagi.”
Provokasi yang dilakukan oleh Ibn Ubay mulai berefek pada kepercayaan Anshar kepada Muhajirin.
Peristiwa provakasi yang dilakukan oleh Ibn Ubay itu diketahui oleh seorang pemuda hebat yang bernama Zaid bin Arqam.
Seketika Zaid melaporkan ulah Ibn Ubay kepada Rasulullah Saw. Muka Rasulullah memerah tanda kemarahan Rasulullah telah memuncak.
Rasulullah pun langsung mendatangi kaum Muhajirin dan Anshar yang tadi bertikai dan kembali mempersatukannya.
Kedatangan Rasulullah menjernihkan kembali fikiran-fikiran mereka yang telah diracuni oleh kalimat-kalimat Ibn Ubay.
Rasulullah kemudian memanggil Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia menanyakan apakah tindakan yang dilaporkan Zaid bin Arqam benar adanya.
Rasulullah pun memastikan kepada Zaid bin Arqam bahwa peristiwa yang ia laporkan kepadanya itu benar adanya.
“Apakah kau memiliki dendam dengan Ibn Ubay wahai Zaid?”
“Tidak punya wahai Rasul.”
“Apakah peristiwa yang engkau laporkan itu benar wahai Zaid?”
“Benar wahai Rasul.”
Mendengar jawaban yang begitu tegas dari Zaid bin Arqam, Rasul kemudian beralih bertanya kepada Ibn Ubay.
“Wahai Ibn Ubay, benarkah yang dikatakan Zaid?”
“Tidak Rasul, demi Allah dan demi Al-Quran yang telah diturunkan kepadamu sesungguhnya Zaid adalah orang yang berbohong. Dia telah melakukan kebohongan.”
Mendengar perkataan Ibn Ubay, masyarakat yang menyaksikan hal itu kemudian meragukan Zaid bin Arqam.
Umar bin Khatab yang ada di sana saat itu ingin membunuh Ibn Ubay. Ia mengetahui bahwa Ibn Ubay sering melakukan kebohongan dan fitnah. Sayangnya, Rasul selalu mencegahnya.
Seketika turunlah ayat al-Munafiqun ayat 1-8. Rasul pun membacanya dihadapan seluruh kaum muslimin dan membisiki telinga Zaid bin Arqam seraya berkata:
“Telingamu benar wahai anak muda, dia lah yang melakukan kebohongan.”
Kematian Abdullah Bin Ubay
Berkali-kali al-Qur’an menunjuk orang ini sebagai sosok kontroversi dalam tutur kata dan perbuatannya yang merugikan Islam dan kaum Muslimin. Hampir setiap ada fitnah yang menimpa kaum Muslimin di Madinah selalu ada peran Abdullah bin Ubay sebagai provokatornya, bahkan peristiwa haditsul ifki (berita palsu) yang menimpa Ummul Mukminin “Aisyah” ra al Qur’an mengisyaratkan Abdullah bin Ubay sebagai pembesar yang mengendalikannya.
Hingga tahun ke sembilan Hijriyah, sepulang Rasulullah saw dari perang Tabuk, di akhir bulan Syawwal Abdullah bin Ubay menderita sakit. Mendengar Abdullah bin Ubay sakit, Rasulullah saw menyempatkan diri untuk membesuknya. Usamah bin Zaid bercerita: “Saya bersama Rasulullah saw mengunjungi Abdullah bin Ubay yang sedang sakit untuk membesuknya. Rasulullah saw mengingatkan Abdullah bin Ubay “Bukankah saya sudah melarang kamu dari dahulu agar tidak mencintai orang-orang Yahudi?” Abdullah bin Ubay menjawab sekenanya, “Dulu Sa’d bin Zurarah membenci orang-orang Yahudi, kemudian Sa’d bin Zurarah mati.”
Rasulullah saw tidak kehilangan sisi kemanusiaan yang bermartabat meskipun kepada orang yang sering Rasulullah ketahui dari Allah SWT sebagai pembuat masalah dan fitnah di dalam barisan kaum Muslimin. Secara zahir Abdullah bin Ubay menunjukkan dirinya sebagai seorang Muslim, maka ia berhak mendapatkan hak keIslaman itu dengan dibesuk ketika sakit.
Pada bulan kerikutnya, bulan Dzulqa’dah Abdullah bin Ubay wafat. Anak lelaki Abdullah bi Ubay, yang bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay datang menemui Rasulullah saw, meminta salah satu kain Rasulullah saw untuk dijadikan sebagai kafan bagi Abdullah bin Ubay, ayahnya. Dan Rasulullah saw mengabulkan permintaan itu dan memberikan kainnya kepada Abdullah bin Abdullah bin Ubay untuk menjadi kafan bagi jenazah ayahnya.
Kemudian Abdullah bin Abdullah juga meminta agar Rasulullah saw berkenan datang menshalatkannya. Maka Rasulullah saw datang untuk menshalatkan jenazah itu. Ketika Rasulullah saw berdiri hendak menshalatkannya, Umar bin Khaththab menarik baju Rasulullah saw dari belakang dan berkata: “Wahai Rasulullah, Engkau akan menshalatkannya? Bukankah Allah melarangmu untuk menshalatkannya?
Rasulullah saw menjawab: “Sesungguhnya Allah SWT memberikan kepadaku dua pilihan kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS at-Taubah:80) Dan saya akan menambahnya lebih dari tujuh puluh kali.
Umar berkata: “Sesungguhnya dia itu orang munafiq”. Setelah Rasulullah saw menshalatkannya, barulah turun ayat: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik. (QS. At-Taubah:84)
Rasulullah saw menshalatkannya ketika itu karena memperlakukannya secara zahir, yaitu pengakuan Abdullah bin Ubay bahwa ia seorang Muslim. Dan Islam mengajarkan ummatnya untuk memperlakukan manusia sesuai dengan kondisi zahirnya, urusan hati dan batinnya adalah kewenangan Allah SWT.
Bisa juga dimaknai bahwa Rasulullah saw menshalatkan Abdullah bin Ubay –tokoh munafiq itu- untuk menghormati anaknya –Abdullah bin Abdullah bin Ubay- yang merupakan salah satu sahabat mulia. Sedangkan pemberian kain Rasulullah saw sebagai kain kafan Abdullah bin Ubay bisa difahami sebagai pembuktian karakter Rasulullah saw yang tidak pernah menolak permintaan siapapun selama Rasulullah saw memilikinya. Bisa juga difahami bahwa Rasulullah saw tidak pernah melupakan kebaikan Abdullah bin Ubay –tokoh munafiq itu- di samping keburukannya yang tidak terhitung.
Abdullah bin Ubay dikenal juga dengan nama Ibnu Salul (631) adalah pemimpin dari Bani Khazraj yang juga merupakan pemimpin di kota Madinah.
Menghasut Konflik Muhajirin dan Anshar
Ketika terjadi pertengkaran antara Jahjah bin Mas’ud al-Ghifari dan Sinan bin Mas’ud al-Juhani yang akhirnya menyulut pertengkaran antara kelompok Muhajirin dan Anshar, datanglah seorang Abdullah bin Ubay bin Salul yang memafaatkan situasi tersebut untuk memecah belah muslim Muhajirin dan Anshar.
Ibn Ubay kemudian berpidato di depan kaum Anshar.
“Lihatlah! Orang-orang yang telah kalian tolong dan diberikan tempat tinggal ternyata telah mengkhianati kalian. Wahai kaumku, jika kalian mencintai diri kalian, janganlah kalian menolong kaum Muhajirin lagi.”
Provokasi yang dilakukan oleh Ibn Ubay mulai berefek pada kepercayaan Anshar kepada Muhajirin.
Peristiwa provakasi yang dilakukan oleh Ibn Ubay itu diketahui oleh seorang pemuda hebat yang bernama Zaid bin Arqam.
Seketika Zaid melaporkan ulah Ibn Ubay kepada Rasulullah Saw. Muka Rasulullah memerah tanda kemarahan Rasulullah telah memuncak.
Rasulullah pun langsung mendatangi kaum Muhajirin dan Anshar yang tadi bertikai dan kembali mempersatukannya.
Kedatangan Rasulullah menjernihkan kembali fikiran-fikiran mereka yang telah diracuni oleh kalimat-kalimat Ibn Ubay.
Rasulullah kemudian memanggil Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia menanyakan apakah tindakan yang dilaporkan Zaid bin Arqam benar adanya.
Rasulullah pun memastikan kepada Zaid bin Arqam bahwa peristiwa yang ia laporkan kepadanya itu benar adanya.
“Apakah kau memiliki dendam dengan Ibn Ubay wahai Zaid?”
“Tidak punya wahai Rasul.”
“Apakah peristiwa yang engkau laporkan itu benar wahai Zaid?”
“Benar wahai Rasul.”
Mendengar jawaban yang begitu tegas dari Zaid bin Arqam, Rasul kemudian beralih bertanya kepada Ibn Ubay.
“Wahai Ibn Ubay, benarkah yang dikatakan Zaid?”
“Tidak Rasul, demi Allah dan demi Al-Quran yang telah diturunkan kepadamu sesungguhnya Zaid adalah orang yang berbohong. Dia telah melakukan kebohongan.”
Mendengar perkataan Ibn Ubay, masyarakat yang menyaksikan hal itu kemudian meragukan Zaid bin Arqam.
Umar bin Khatab yang ada di sana saat itu ingin membunuh Ibn Ubay. Ia mengetahui bahwa Ibn Ubay sering melakukan kebohongan dan fitnah. Sayangnya, Rasul selalu mencegahnya.
Seketika turunlah ayat al-Munafiqun ayat 1-8. Rasul pun membacanya dihadapan seluruh kaum muslimin dan membisiki telinga Zaid bin Arqam seraya berkata:
“Telingamu benar wahai anak muda, dia lah yang melakukan kebohongan.”
Kematian Abdullah Bin Ubay
Berkali-kali al-Qur’an menunjuk orang ini sebagai sosok kontroversi dalam tutur kata dan perbuatannya yang merugikan Islam dan kaum Muslimin. Hampir setiap ada fitnah yang menimpa kaum Muslimin di Madinah selalu ada peran Abdullah bin Ubay sebagai provokatornya, bahkan peristiwa haditsul ifki (berita palsu) yang menimpa Ummul Mukminin “Aisyah” ra al Qur’an mengisyaratkan Abdullah bin Ubay sebagai pembesar yang mengendalikannya.
Hingga tahun ke sembilan Hijriyah, sepulang Rasulullah saw dari perang Tabuk, di akhir bulan Syawwal Abdullah bin Ubay menderita sakit. Mendengar Abdullah bin Ubay sakit, Rasulullah saw menyempatkan diri untuk membesuknya. Usamah bin Zaid bercerita: “Saya bersama Rasulullah saw mengunjungi Abdullah bin Ubay yang sedang sakit untuk membesuknya. Rasulullah saw mengingatkan Abdullah bin Ubay “Bukankah saya sudah melarang kamu dari dahulu agar tidak mencintai orang-orang Yahudi?” Abdullah bin Ubay menjawab sekenanya, “Dulu Sa’d bin Zurarah membenci orang-orang Yahudi, kemudian Sa’d bin Zurarah mati.”
Rasulullah saw tidak kehilangan sisi kemanusiaan yang bermartabat meskipun kepada orang yang sering Rasulullah ketahui dari Allah SWT sebagai pembuat masalah dan fitnah di dalam barisan kaum Muslimin. Secara zahir Abdullah bin Ubay menunjukkan dirinya sebagai seorang Muslim, maka ia berhak mendapatkan hak keIslaman itu dengan dibesuk ketika sakit.
Pada bulan kerikutnya, bulan Dzulqa’dah Abdullah bin Ubay wafat. Anak lelaki Abdullah bi Ubay, yang bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay datang menemui Rasulullah saw, meminta salah satu kain Rasulullah saw untuk dijadikan sebagai kafan bagi Abdullah bin Ubay, ayahnya. Dan Rasulullah saw mengabulkan permintaan itu dan memberikan kainnya kepada Abdullah bin Abdullah bin Ubay untuk menjadi kafan bagi jenazah ayahnya.
Kemudian Abdullah bin Abdullah juga meminta agar Rasulullah saw berkenan datang menshalatkannya. Maka Rasulullah saw datang untuk menshalatkan jenazah itu. Ketika Rasulullah saw berdiri hendak menshalatkannya, Umar bin Khaththab menarik baju Rasulullah saw dari belakang dan berkata: “Wahai Rasulullah, Engkau akan menshalatkannya? Bukankah Allah melarangmu untuk menshalatkannya?
Rasulullah saw menjawab: “Sesungguhnya Allah SWT memberikan kepadaku dua pilihan kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS at-Taubah:80) Dan saya akan menambahnya lebih dari tujuh puluh kali.
Umar berkata: “Sesungguhnya dia itu orang munafiq”. Setelah Rasulullah saw menshalatkannya, barulah turun ayat: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik. (QS. At-Taubah:84)
Rasulullah saw menshalatkannya ketika itu karena memperlakukannya secara zahir, yaitu pengakuan Abdullah bin Ubay bahwa ia seorang Muslim. Dan Islam mengajarkan ummatnya untuk memperlakukan manusia sesuai dengan kondisi zahirnya, urusan hati dan batinnya adalah kewenangan Allah SWT.
Bisa juga dimaknai bahwa Rasulullah saw menshalatkan Abdullah bin Ubay –tokoh munafiq itu- untuk menghormati anaknya –Abdullah bin Abdullah bin Ubay- yang merupakan salah satu sahabat mulia. Sedangkan pemberian kain Rasulullah saw sebagai kain kafan Abdullah bin Ubay bisa difahami sebagai pembuktian karakter Rasulullah saw yang tidak pernah menolak permintaan siapapun selama Rasulullah saw memilikinya. Bisa juga difahami bahwa Rasulullah saw tidak pernah melupakan kebaikan Abdullah bin Ubay –tokoh munafiq itu- di samping keburukannya yang tidak terhitung.
0 comments:
Post a Comment