Thulaihah Bin Khuwailid Al Asadi
Thulaihah Bin Khuwailid Al Asadi
Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi adalah orang ketiga yang mengaku sebagai nabi. Awalnya, ia memeluk Islam pada tahun 9 H. Namun, di akhir hayat nabi, ia murtad dan mengaku sebagai seorang nabi. Akan tetapi akhir hayatnya berbeda dengan Musailimah yang tidak sempat bertaubat. Ia bertaubat di masa Abu Bakar. Dan di masa Umar, ia diperbolehkan ikut berjihad.
Thulaihah adalah salah seorang dukun dari Bani Asad. Ia mengklaim sebagai seorang nabi di akhir masa kehidupan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, ia sama seperti Musailimah dan al-Aswad al-Unsi. Mengaku nabi di saat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Thulaihah tinggal di Buzakhah, sebuah tempat yang merupakan sumber air milik Bani Asad.
Pengakuan Thulaihah sebagai seorang nabi mulai dikenal banyak orang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaumnya pun mengikutinya. Mereka batalkan perjanjian damai dengan kabilah Thayyi’ dan al-Ghauts. Kemudian mereka bersekutu dengan Ghatafan. Kabilah di ujung Arab yang memang berselisih dengan Madinah.
Bani Asad adalah sebuah kabilah yang bermukim di wilayah Nejd. Mereka tinggal bertetangga dengan Kabilah Thayyi di sebelah timur dan Bakr di sebelah selatan. Di sebelah utara ada kampung kabilah Hawzan dan Ghatafan. Dan di sebelah barat adalah kabilah Abdul Qais dan Tamim. Suku-suku ini memiliki sejarah perjanjian damai sekaligus juga pertikaian. Perubahan keadaan damai dan perang sesuai dengan kondisi mereka dan perkembangan daerah di sekitar mereka.
Bani Asad Pernah Memeluk Islam
Paad tahun 9 H atau yang dikenal dengan ‘am al-wufud (tahun datangnya utusan-utusan), datang utusan Bani Saad menuju Madinah untuk berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berikrar untuk memeluk Islam. Jumlah mereka yang datang saat itu sepuluh orang. Di antara mereka adalah Dhirar bin al-Azur, Wabishah bin Ma’bad, Thulaihah bin Khuwailid, dll. Mereka berkisah tentang sengketa mereka dengan kabilah tetangga, yakni Bani Thayyi’. Nabi berusaha menengahi perselisihan ini. Nabi menulis surat kepada mereka. Sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Said. Bani Thayyi’ menanggapi, “Syaratnya, mereka tak boleh mendekati sumber air dan tanah Thayyi’. Karena air Thayyi’ tidak halal untuk mereka. Dan jangan mengolah tanah mereka orang-orang dari mereka.” Mereka menunjuk Qudha’i bin Amr seorang dari Bani ‘Adzrah sebagai pegawai mereka (Ibnu Saad: Juz 1 Hal 270-292).
Kabilah Asad, Ghatafan, dan Thayyi’ sebenarnya sudah saling berdamai sejak zaman jahiliyah sebelum masa nubuwah. Kemudian terjadi perselisihan antara mereka, Thayyi’ keluar dari perjanjian. Asad dan Ghatafan pun menjauh dari mereka. Perselisihan inilah yang ingin diurai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agar orang-orang Bani Asad tak lagi dilarang mengambil air dan mengolah tanah yang ada di Thayyi’.
Saat Thulaihah mengumumkan diri sebagai nabi, dan semakin kuat gaung pengakuan tersebut setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang Ghatafan menerima pengakuan itu. Karena mereka bermusuhan dengan Quraisy. Uyainah bin Hishn al-Fazzari mengatakan, “Aku tak mengetahui keadaan Ghatafan sejak terputusnya hubungan antara kami dengan Bani Asad. Sungguh aku akan memperbaiki perjanjian damai antara kami di masa lampau dan mengikuti Thulaihah. Demi Allah! Mengikuti seorang nabi dari dua kelompok yang menjadi sekutu lebih aku cintai daripada mengikuti Quraisy. Muhammad telah wafat. Sedangkan Thulaihah hidup.” (Thabari: Juz 3 Hal 257).
Kesimpulannya, kabilah-kabilah ini membenci kepemimpinan Quraisy.
Pengakuan Si Nabi Palsu
Tidak jelas apa yang memotivasi Thulaihah mengaku sebagai nabi. Bisa jadi hal itu ia lakukan semata-mata karena persaingan kabilah. Indikasinya adalah ucapan Uyainah bin Hishn di atas.
Dalam dakwahnya, Thulaihah tidak mengajak masyarakat Arab untuk menyebah berhala. Hal ini juga tak dilakukan oleh mereka yang mengaku-ngaku nabi selain dirinya. Mereka tak menyerukan agar masyarakat Arab kembali ke tradisi lama menyembah berhala. Karena dakwah tauhid sudah begitu menyebar. Paganisme di Jazirah Arab sudah berhasil dibabad habis oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hampir tidak ada pemikiran Thulaihah yang diabadikan dalam catatan sejarah. Yang sampai kepada kita hanyalah berita bahwa ia mengingkari rukuk dan sujud dalam shalat. Ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan untuk menggulung wajah kalian di tanah. Atau melengkungkan punggung kalian dalam shalat.” Ia juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan melumuri wajah kalian dan memburukkan bokong kalian. Ingatlah Allah dengan berdiri…” (al-Biladzri: Hal 106).
Taubatnya Si Nabi Palsu
Di masa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memerangi orang-orang yang mengklaim sebagai nabi. Seperti nabi palsu al-Aswad al-Unsi. Rasulullah memerintahkan Dhirar bin al-Azur untuk menghadapi Thulaihah. Namun misi ini belum berhasil hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menggantikan posisi nabi memimpin kaum muslimin. Ia menunjuk Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu memimpin pasukan untuk menumpas Thulaihah dan pengikutnya. Khalid berhasil mengalahkan pasukan Thulaihah. Namun si nabi palsu ini berhasil melarikan diri ke Syam. Dalam masa pelarian itulah Thulaihah sadar dan kembali menyatakan keislamannya.
Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi adalah orang ketiga yang mengaku sebagai nabi. Awalnya, ia memeluk Islam pada tahun 9 H. Namun, di akhir hayat nabi, ia murtad dan mengaku sebagai seorang nabi. Akan tetapi akhir hayatnya berbeda dengan Musailimah yang tidak sempat bertaubat. Ia bertaubat di masa Abu Bakar. Dan di masa Umar, ia diperbolehkan ikut berjihad.
Thulaihah adalah salah seorang dukun dari Bani Asad. Ia mengklaim sebagai seorang nabi di akhir masa kehidupan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, ia sama seperti Musailimah dan al-Aswad al-Unsi. Mengaku nabi di saat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Thulaihah tinggal di Buzakhah, sebuah tempat yang merupakan sumber air milik Bani Asad.
Pengakuan Thulaihah sebagai seorang nabi mulai dikenal banyak orang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaumnya pun mengikutinya. Mereka batalkan perjanjian damai dengan kabilah Thayyi’ dan al-Ghauts. Kemudian mereka bersekutu dengan Ghatafan. Kabilah di ujung Arab yang memang berselisih dengan Madinah.
Bani Asad adalah sebuah kabilah yang bermukim di wilayah Nejd. Mereka tinggal bertetangga dengan Kabilah Thayyi di sebelah timur dan Bakr di sebelah selatan. Di sebelah utara ada kampung kabilah Hawzan dan Ghatafan. Dan di sebelah barat adalah kabilah Abdul Qais dan Tamim. Suku-suku ini memiliki sejarah perjanjian damai sekaligus juga pertikaian. Perubahan keadaan damai dan perang sesuai dengan kondisi mereka dan perkembangan daerah di sekitar mereka.
Bani Asad Pernah Memeluk Islam
Paad tahun 9 H atau yang dikenal dengan ‘am al-wufud (tahun datangnya utusan-utusan), datang utusan Bani Saad menuju Madinah untuk berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berikrar untuk memeluk Islam. Jumlah mereka yang datang saat itu sepuluh orang. Di antara mereka adalah Dhirar bin al-Azur, Wabishah bin Ma’bad, Thulaihah bin Khuwailid, dll. Mereka berkisah tentang sengketa mereka dengan kabilah tetangga, yakni Bani Thayyi’. Nabi berusaha menengahi perselisihan ini. Nabi menulis surat kepada mereka. Sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Said. Bani Thayyi’ menanggapi, “Syaratnya, mereka tak boleh mendekati sumber air dan tanah Thayyi’. Karena air Thayyi’ tidak halal untuk mereka. Dan jangan mengolah tanah mereka orang-orang dari mereka.” Mereka menunjuk Qudha’i bin Amr seorang dari Bani ‘Adzrah sebagai pegawai mereka (Ibnu Saad: Juz 1 Hal 270-292).
Kabilah Asad, Ghatafan, dan Thayyi’ sebenarnya sudah saling berdamai sejak zaman jahiliyah sebelum masa nubuwah. Kemudian terjadi perselisihan antara mereka, Thayyi’ keluar dari perjanjian. Asad dan Ghatafan pun menjauh dari mereka. Perselisihan inilah yang ingin diurai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agar orang-orang Bani Asad tak lagi dilarang mengambil air dan mengolah tanah yang ada di Thayyi’.
Saat Thulaihah mengumumkan diri sebagai nabi, dan semakin kuat gaung pengakuan tersebut setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang Ghatafan menerima pengakuan itu. Karena mereka bermusuhan dengan Quraisy. Uyainah bin Hishn al-Fazzari mengatakan, “Aku tak mengetahui keadaan Ghatafan sejak terputusnya hubungan antara kami dengan Bani Asad. Sungguh aku akan memperbaiki perjanjian damai antara kami di masa lampau dan mengikuti Thulaihah. Demi Allah! Mengikuti seorang nabi dari dua kelompok yang menjadi sekutu lebih aku cintai daripada mengikuti Quraisy. Muhammad telah wafat. Sedangkan Thulaihah hidup.” (Thabari: Juz 3 Hal 257).
Kesimpulannya, kabilah-kabilah ini membenci kepemimpinan Quraisy.
Pengakuan Si Nabi Palsu
Tidak jelas apa yang memotivasi Thulaihah mengaku sebagai nabi. Bisa jadi hal itu ia lakukan semata-mata karena persaingan kabilah. Indikasinya adalah ucapan Uyainah bin Hishn di atas.
Dalam dakwahnya, Thulaihah tidak mengajak masyarakat Arab untuk menyebah berhala. Hal ini juga tak dilakukan oleh mereka yang mengaku-ngaku nabi selain dirinya. Mereka tak menyerukan agar masyarakat Arab kembali ke tradisi lama menyembah berhala. Karena dakwah tauhid sudah begitu menyebar. Paganisme di Jazirah Arab sudah berhasil dibabad habis oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hampir tidak ada pemikiran Thulaihah yang diabadikan dalam catatan sejarah. Yang sampai kepada kita hanyalah berita bahwa ia mengingkari rukuk dan sujud dalam shalat. Ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan untuk menggulung wajah kalian di tanah. Atau melengkungkan punggung kalian dalam shalat.” Ia juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan melumuri wajah kalian dan memburukkan bokong kalian. Ingatlah Allah dengan berdiri…” (al-Biladzri: Hal 106).
Taubatnya Si Nabi Palsu
Di masa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memerangi orang-orang yang mengklaim sebagai nabi. Seperti nabi palsu al-Aswad al-Unsi. Rasulullah memerintahkan Dhirar bin al-Azur untuk menghadapi Thulaihah. Namun misi ini belum berhasil hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menggantikan posisi nabi memimpin kaum muslimin. Ia menunjuk Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu memimpin pasukan untuk menumpas Thulaihah dan pengikutnya. Khalid berhasil mengalahkan pasukan Thulaihah. Namun si nabi palsu ini berhasil melarikan diri ke Syam. Dalam masa pelarian itulah Thulaihah sadar dan kembali menyatakan keislamannya.
0 comments:
Post a Comment