Musailamah Al Kazzab
Musailamah Al Kazzab
Sejarawan berbeda pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan ia adalah Musailamah bin Hubaib al-Hanafi. Yang lain mengatakan Musailamah bin Tsamamah bin Katsir bin Hubaib al-Hanafi. Ada yang mengatakan kun-yahnya adalah Abu Tsamamah. Ada pula yang menyebutnya Abu Harun.
Musailamah dilahirkan di wilayah Yamamah. Di sebuah desa yang sekarang ini disebut al-Jibliyah. Dekat dengan Uyainah di lembah Hanifah wilayah Nejd.
Usia Musailamah lebih tua dan lebih panjang dibanding Rasulullah ﷺ. Ada yang menyebutkan ia terbunuh pada usia 150 tahun saat Perang Yamamah. Ia adalah seorang tokoh agama di Yamamah dan telah memiliki pengikut sebelum wahyu kerasulan datang kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Sebelum mengaku sebagai nabi, Musailamah sering menyusuri jalan-jalan. Masuk ke pasar-pasar yang ramai oleh masyarakat Arab maupun non-Arab. Berjumpa dengan orang-orang berbagai macam profesi di sana. Pasar yang ia kunjungi semisal pasar di wilayah al-Anbar dan Hirah (Futuh al-Buldan oleh al-Baladzuri, Hal: 100).
Musailamah adalah seseorang yang memiliki kepribadian yang kuat (strong personality). Pandai bicara. Memiliki pengaruh di tengah bani Hanifah dan kabilah-kabilah tetangga. Tutur katanya lembut namun menipu. Pandai menarik simpati, bagi laki-laki maupun wanita. Ia menyebut dirinya Rahman al-Yamamah. Namun Allah berkehendak beda. Ia dikenal dengan nama Musailamah al-Kadzab (Musailamah sang pendusta) hingga hari ini.
Saat Musailamah mengumumkan kenabiannya (nabi palsu), Rasulullah ﷺ berada di Mekah. Ia mengutus orang-orang pergi ke Mekah untuk mendengarkan Alquran. Kemudian kembali ke Yamamah untuk membacakannya kepadanya. Setelah itu ia menirunya atau memperdengarkan ulang ke hadapan orang-orang sambil mengklaim itu adalah kalamnya (Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk oleh ath-Thabari, 3: 295).
Utusan Bani Hanifah Menemui Rasulullah
Di antara metode dakwah Rasulullah ﷺ adalah menulis surat kepada para penguasa dan raja-raja. Menyeru mereka untuk memeluk Islam. Seruan dakwah tersebut sampai juga kepada Haudzah bin Ali al-Hanafi. Seorang penguasa Yamamah yang beragama Nasrani. Setelah menerima surat tersebut, Haudzah mengajukan syarat agar kekuasaan diberikan kepadanya. Nabi ﷺ menolaknya. Tidak lama setelah itu Haudzah pun wafat.
Pada tahun ke-9 H, tokoh-tokoh bani Hanifah yang berjumlah beberapa belas orang laki-laki datang menemui Nabi ﷺ di Madinah. Di antara mereka terdapat Musailamah. Mereka datang untuk mengumumkan keislaman kepada Rasulullah ﷺ. Dan menyepakati bahwa Nabi ﷺ adalah pemimpin.
Bani Hanifah termasuk kabilah Arab yang terbesar jumlahnya. Mereka memiliki kedudukan dan terpandang. Karena merasa layak mendapatkan kepemimpinan, mereka mengajukan permintaan kepemimpinan. Mereka ingin agar Musailamah kelak menggantikan posisi Nabi setelah beliau wafat. Nabi ﷺ menolak permintaan mereka.
Utusan bani Hanifah pun kecewa dan mulai muncul keinginan untuk keluar dari Islam. Dan Nabi ﷺ telah menangkap gelagat ini. Ketika hendak pulang ke Yamamah, mereka berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya kami meninggalkan salah seorang sahabat kami di perbekalan kami untuk menjaganya”.
Rasulullah ﷺ menanggapi, “Kedudukan dia (Musailamah) tidak lebih buruk daripada kedudukan kalian”. Artinya walaupun ia sebagai petugas yang menjaga perbekalan kalian, bukan berarti kedudukannya lebih rendah dari kalian. Mereka pun pulang ke Yamamah dengan membawa hadiah dari Nabi ﷺ.
Perkataan Nabi ﷺ terhadap Musailamah tersebut dijadikan sabda rekomendasi oleh Musailamah dan tokoh yang lain. Mereka klaim bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ meridhai Musailamah sebagai penggantinya. Tak lama Musailamah pun mengumumukan kenabiannya di tengah-tengah bani Hanifah. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai Musailamah al-Kadzab.
Kemudian Nabi ﷺ menunjuk Nuharur Rijal bin Unfuwah untuk mengajarkan agama kepada penduduk Yamamah. Ibnu Unfuwah adalah laki-laki yang berilmu, luas pandangannya, dan cerdas. Siapa sangka, ternyata Ibnu Unfuwah malah bergabung dengan Musailamah. Kesungguhannya di hadapan Rasulullah ﷺ hanyalah riya’ semata. Ibnu Unfuwah mengakui kenabian Musailamah. Menurutnya Musailamah bersama-sama Nabi Muhammad ﷺ dalam risalah kenabian. Orang-orang bani Hanifah pun simpati kepadanya. Dan Musailamah menjadikannya orang kepercayaan (Futuh al-Buldan oleh al-Baladzuri, Hal: 97, Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk oleh ath-Thabari, 3: 137-138, dan al-Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir, 5: 50-52).
Rasulullah ﷺ Berbalas Surat dengan Musailamah
Setelah klaim kenabiannya diterima di tengah-tengah kaumnya, rasa percaya diri Musailamah kian bertambah. Semakin jauhlah kesesatannya. Ia mulai memposisikan diri sebagai seorang utusan Allah. Ia meniru Nabi Muhammad ﷺ yang berdakwah melalui surat kepada para raja dan penguasa. Saking percaya dirinya, ia mengirim surat kepada Nabi Muhammad ﷺ:
مِنْ مُسَيْلِمَةَ رَسُولِ اللَّهِ، إلَى مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ: سَلَامٌ عَلَيْكَ، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي قَدْ أُشْرِكْتُ فِي الْأَمْرِ مَعَكَ، وَإِنَّ لَنَا نِصْفَ الْأَرْضِ، وَلِقُرَيْشٍ نِصْفَ الْأَرْضِ، وَلَكِنَّ قُرَيْشًا قَوْمٌ يَعْتَدُونَ
“Dari Musailamah seorang rasulullah kepada Muhammad seorang rasulullah.
Keselamtan atasmu, amma ba’du:
Sungguh aku sama denganmu dalam kerasulan ini. Bagi kami bagian bumi tertentu dan bagi Quraisy bagian bumi lainnya. Akan tetapi orang-orang Quraisy adalah kaum yang melampaui batas.”
Perhatikanlah, para penyeru kesesatan sejak dulu terbiasa menggunakan pilihan kata yang indah untuk menipu manusia. Musailamah menyebut Nabi Muhammad sebagai orang yang melampaui batas. Karena ingin menguasai seluruh jazirah Arab. Sementara ia mengisyaratkan bahwa dirinya adalah orang yang bijak karena ingin berbagi.
Demikian juga para penyeru kesesatan di zaman ini, mereka menggunakan bahasa yang indah untuk memikat hati. Mereka sebut ajaran mereka mencerahkan sementara berpegang kepada Alquran dan sunnah adalah kejumudan dan kaku. Mereka sebut ajaran mereka toleran. Sementara yang lainnya adalah radikal.
Rasulullah ﷺ tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Beliau tidak ingin keraguan dan kerancuan ini tersebar. Beliau ﷺ pun membalas surat Musailamah:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ، إلَى مُسَيْلِمَةَ الْكَذَّابِ: السَّلَامُ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الْأَرْضَ للَّه يُورَثُهَا مَنْ يُشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad utusan Allah kepada Musailamah sang pendusta.
Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk, amma ba’du:
Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Setelah membaca surat itu, Musailamah memutilasi sahabat Nabi, Hubaib bin Zaid radhiallahu ‘anhu, yang Nabi tugaskan untuk mengantarkan surat kepada Musailamah al-Kadzab. Peristiwa ini terjadi di akhir tahun ke-10 H.
Ketika Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menggantikan beliau memimpin umat Islam. Di antara kebijakan prioritas Abu Bakar adalah adalah mengirim pasukan menghadapi orang-orang murtad. Semisal pengikut Musailamah al-Kadzab dan lainnya. Abu Bakar mengirim Ikrimah bin Abi Jahl dan didampingi Syurahbil bin Hasanah menghadapi nabi palsu pendusta itu.
Setelah mengemban tugas, Ikrimah terburu-buru melakukan penyerangan. Ia dan pasukannya pun berhasil dipukul mundur para pembela Musailamah. Ikrimah mengirim surat kepada Abu Bakar, mengabarkan kondisi di palangan dan meminta masukan kepadanya. Abu Bakar mengatakan, “Wahai Ikrimah, aku tidak menyaksikanmu dan engkau juga tidak melihatku. Janganlah engkau kembali (ke Madinah) sehingga moral pasukanmu turun. Teruslah berjalan hingga engkau berjumpa dengan Hudzaifah dan Urfujah. Keduanya bersama orang-orang Oman dan Mahrah. Bergabunglah bersamanya! Apabila keduanya sibuk (dengan tugas mereka), teruslah maju. Berjalanlah! Berjalanlah! Bersama pasukanmu tanpa menghiraukan orang-orang yang kalian temui. Hingga nanti kalian berjumpa dengan Muhajir bin Abi Umayyah di Yaman dan atau di Hadhramaut”.
Abu Bakar juga menulis surat kepada Syurahbil agar tetap di posisinya hingga Khalid bin Walid datang. Setelah misi di Yamamah tuntas, mereka diperintahkan bergabung dengan Amr bin al-Ash menuju Qadha’ah. Khalid menunggu utusan yang dikirim kepadanya di wilayah al-Baththah. Ketika mereka tiba, barulah ia berangkat bersama pasukannya ke Yamamah menghadapi Musailamah.
Hari Aqriba
Di Yamamah, Musailamah mendengar pasukan Khalid telah mendekat. Ia memberi sambutan dengan menyiagakan pasukannya di Aqriba. Saat kedua pasukan berjumpa, tidak ada harga tawar kecuali peperangan. Pasukan kecil Musailamah yang terdiri dari 40-60 orang berhasil dikalahkan. Perang pembuka ini dimenangkan oleh Khalid dan pasukannya.
Keesokan paginya, pasukan Khalid kembali berjumpa dengan pembela Musailamah. Seruan dan motivasi pembela nabi palsu itu adalah kesukuan dan kehormatan keluarga. Anak Musailamah al-Kadzab, Syurahbil bin Musailamah, memotivasi pasukannya dengan mengatakan, “Berperanglah untuk membela nasab kalian dan jagalah istri-istri kalian!”
Panji kaum muhajirin dipegang oleh Salim maula Abi Hudzaifah radhiallahu ‘anhu. Orang-orang muhajirin berkata kepadanya, “Kami khawatir akan ditimpa kekalahan karena dirimu”. Para sahabat muhajirin meragukan kepemimpinan Salim dalam perang ini. Salim menjawab, “Kalau demikian, aku adalah sejelek-jelek pembawa Alquran”. Ia menepis keraguan muhajirin. Adapun panji perang kaum anshar dipegang oleh Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu ‘anhu, khatib Rasulullah ﷺ.
Dengan pasukan besar, tidak kurang dari 100.000 orang, pasukan Musailamah al-Kadzab berada di atas angin dan berhasil menekan 12.000 pasukan kaum muslimin di awal peperangan. Mereka berhasil memorak-morandakan pertahanan kaum muslimin. Mereka menerobos barisan tentara-tentara Allah hingga berhasil masuk ke dalam kemah panglima Khalid bin al-Walid. Istri Khalid hampir tewas dalam peristiwa itu.
Dalam situasi genting tersebut, Tsabit bin Qais memotivasi dirinya dan kaum muslimin dengan mengatakan, “Alangkah buruknya yang kalian biasakan (perbuat) ini wahai kaum muslimin. Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang mereka –orang-orang Yamamah- perbuat. Dan aku mohon maaf-Mu atas apa yang diperbuat kaum muslimin”. Kemudian ia berperang hingga menemui ajalnya.
Abu Hudzaifah berkata, “Wahai para penghafal Alquran, hiasilah Alquran dengan amalan!”.
Zaid bin al-Khattab berkata, “Wahai para pasukan, buanglah kerisauan kalian. Hadapi musuh kalian. Melangkahlah maju. Demi Allah, aku tidak akan berbicara sepatah kata pun hingga aku berjumpa dengan Allah. Barulah aku berbicara kepada-Nya dengan hujjahku”. Kemudian Zaid berperang tanpa rasa takut dan gentar.
Saudara Umar bin al-Khattab dan pemimpin pasukan sayap kanan ini dipertemukan Allah dengan Naharur Rijal. Orang yang mengkhianati amanah Rasulullah ﷺ dan malah memilih bergabung dengan Musailamah al-Kadzab. Pedang keduanya pun saling hantam hingga Naharur Rijal tewas. Kematian tangan kanan Musailamah ini kontan menurunkan moral pasukan bani Hanifah.
Kecamuk Perang Yamamah kian memanas. Teriakan pengobar semangat, amarah, dan jeritan luka menggema dimana-mana. Gemerincing dan denting pedang saling menghantam. Desir suara anak panah dan tombak membelah angin. Deru derap langkah pasukan berpacu dengan kuda-kuda. Mental yang lemah akan menggoyahkan langkah. Niat yang keliru membuat jihad yang berat tiadalah arti selain lumuran debu. Di kaki, tangan, dan wajah. Jasad-jasad terhempas ke bumi berpisah dengan nyawanya. Itulah pemandangan yang terjadi dalam peperangan.
Terkadang kaum muslimin menekan. Kadang bani Hanifah memegang kendali perang. Gugurlah dalam perang ini sahabat-sahabat mulia; Salim maula Abu Hudzaifah. Seorang qari Rasulullah. Dan gugur pula Zaid bin al-Khattab. Serta tokoh-tokoh Islam selain keduanya.
Tewasnya Nabi Palsu
Musailamah al-Kadzab dan para pembelanya terpojok dan lari ke kebun yang memiliki pagar tinggi. Pasukan sebanyak itu membuat kebun menjadi penuh sesak. 6000 pasukan Musailamah berlindung di dalamnya. Kaum muslimin berusaha mengejar mereka, namun tak mampu memasukinya. Hingga al-Barra bin Malik mengeluarkan ide “nekat”. Ia berkata, “Letakkan aku dalam baju besi. Kemudian angkat dengan ujung tombak. Angkatlah, hingga aku bisa mencapai ujung atas pagar. Lalu lemparkanlah aku ke dalam kebun. Akan kubukakan pintu dari dalam”.
Awalnya, orang-orang menolak usulan al-Barra. Mereka khawatir akan keselamatannya. Sampai akhirnya mereka mengangkatnya dan melemparnya ke dalam kebun. Al-Barra pun masuk ke dalam kebun. Keberanian, keahlian dalam bela diri dan menggunakan senjata mengantakan al-Barra ke pintu gebarng setelah ia membunuh 15 orang. Gerbang kebun terbuka.
Kebun yang awalnya menjadi benteng Musailamah. Kini menjadi kebun kematian untuknya. Kaum muslimin berlari membanjiri kebun. Setelah semuanya masuk, al-Barra menutup kembali pintu tersebut dan melemparkan kuncinya ke seberang pagar. Sehingga tidak ada satu pun yang bisa keluar.
Tempat para petani itu kini berubah menjadi medan laga. Pasukan Musailamah al-Kadzab kian terpojok. Sampai akhirnya tewaslah si nabi palsu, Musailamah al-Kadzab, di tangan Wahsyi bin Harb bekas budak Jabir bin Muth’im dan seorang mujahid dari anshar, Abu Dujanah Simak bin Khirasyah radhiallahu ‘anhu.
Tewasnya Musailamah meruntuhkan moral pengikutnya. Kebanggaan dan kesombongan mereka serta merta luruh, larut dalam situasi itu. Mereka seolah-olah tersadar dari sihir, bingung tak berbuat sesuatu pun. Akhirnya mereka menyerah. Setelah sejumlah 21.000 dari mereka tewas dalam pertempuran. Dan ada yang mengatakan 500 atau 600 atau bahkan 1200 kaum muslimin syahid. Jumlah korban yang besar.
Setelah perang usai, orang-orang bani Hanifah didatangkan ke Madinah untuk bertemu dengan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu. Mereka diminta bercerita tentang kenabian Musailamah. Abu Bakar bertanya tentang sajak yang dibuat Musailamah. Mereka menyebutkan beberapa contoh di antaranya. Lalu Abu Bakar berkomentar, “Subhanallah!! Celak kalian! Kalimat-kalimat tersebut bukanlah berasal dari Tuhan bahkan orang yang baik (sekalipun). Bagaimana hal itu bisa membimbing kalian?” (Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk oleh ath-Thabari, 3:281-301, al-Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir, 6:237 & 324, Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Saad, 3:377, dan al-Ishabah oleh Ibnu Hajar, 3:15).
Inilah akhir dari kisah nabi palsu Musailamah al-Kadzab. Ia berdusta atas wahyu, hingga kini gelar al-Kadzab (si pendusta) selalu disandang di akhir namanya. Kehinaan ia dapatkan di dunia dan kelak di akhirat sana.
Sejarawan berbeda pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan ia adalah Musailamah bin Hubaib al-Hanafi. Yang lain mengatakan Musailamah bin Tsamamah bin Katsir bin Hubaib al-Hanafi. Ada yang mengatakan kun-yahnya adalah Abu Tsamamah. Ada pula yang menyebutnya Abu Harun.
Musailamah dilahirkan di wilayah Yamamah. Di sebuah desa yang sekarang ini disebut al-Jibliyah. Dekat dengan Uyainah di lembah Hanifah wilayah Nejd.
Usia Musailamah lebih tua dan lebih panjang dibanding Rasulullah ﷺ. Ada yang menyebutkan ia terbunuh pada usia 150 tahun saat Perang Yamamah. Ia adalah seorang tokoh agama di Yamamah dan telah memiliki pengikut sebelum wahyu kerasulan datang kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Sebelum mengaku sebagai nabi, Musailamah sering menyusuri jalan-jalan. Masuk ke pasar-pasar yang ramai oleh masyarakat Arab maupun non-Arab. Berjumpa dengan orang-orang berbagai macam profesi di sana. Pasar yang ia kunjungi semisal pasar di wilayah al-Anbar dan Hirah (Futuh al-Buldan oleh al-Baladzuri, Hal: 100).
Musailamah adalah seseorang yang memiliki kepribadian yang kuat (strong personality). Pandai bicara. Memiliki pengaruh di tengah bani Hanifah dan kabilah-kabilah tetangga. Tutur katanya lembut namun menipu. Pandai menarik simpati, bagi laki-laki maupun wanita. Ia menyebut dirinya Rahman al-Yamamah. Namun Allah berkehendak beda. Ia dikenal dengan nama Musailamah al-Kadzab (Musailamah sang pendusta) hingga hari ini.
Saat Musailamah mengumumkan kenabiannya (nabi palsu), Rasulullah ﷺ berada di Mekah. Ia mengutus orang-orang pergi ke Mekah untuk mendengarkan Alquran. Kemudian kembali ke Yamamah untuk membacakannya kepadanya. Setelah itu ia menirunya atau memperdengarkan ulang ke hadapan orang-orang sambil mengklaim itu adalah kalamnya (Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk oleh ath-Thabari, 3: 295).
Utusan Bani Hanifah Menemui Rasulullah
Di antara metode dakwah Rasulullah ﷺ adalah menulis surat kepada para penguasa dan raja-raja. Menyeru mereka untuk memeluk Islam. Seruan dakwah tersebut sampai juga kepada Haudzah bin Ali al-Hanafi. Seorang penguasa Yamamah yang beragama Nasrani. Setelah menerima surat tersebut, Haudzah mengajukan syarat agar kekuasaan diberikan kepadanya. Nabi ﷺ menolaknya. Tidak lama setelah itu Haudzah pun wafat.
Pada tahun ke-9 H, tokoh-tokoh bani Hanifah yang berjumlah beberapa belas orang laki-laki datang menemui Nabi ﷺ di Madinah. Di antara mereka terdapat Musailamah. Mereka datang untuk mengumumkan keislaman kepada Rasulullah ﷺ. Dan menyepakati bahwa Nabi ﷺ adalah pemimpin.
Bani Hanifah termasuk kabilah Arab yang terbesar jumlahnya. Mereka memiliki kedudukan dan terpandang. Karena merasa layak mendapatkan kepemimpinan, mereka mengajukan permintaan kepemimpinan. Mereka ingin agar Musailamah kelak menggantikan posisi Nabi setelah beliau wafat. Nabi ﷺ menolak permintaan mereka.
Utusan bani Hanifah pun kecewa dan mulai muncul keinginan untuk keluar dari Islam. Dan Nabi ﷺ telah menangkap gelagat ini. Ketika hendak pulang ke Yamamah, mereka berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya kami meninggalkan salah seorang sahabat kami di perbekalan kami untuk menjaganya”.
Rasulullah ﷺ menanggapi, “Kedudukan dia (Musailamah) tidak lebih buruk daripada kedudukan kalian”. Artinya walaupun ia sebagai petugas yang menjaga perbekalan kalian, bukan berarti kedudukannya lebih rendah dari kalian. Mereka pun pulang ke Yamamah dengan membawa hadiah dari Nabi ﷺ.
Perkataan Nabi ﷺ terhadap Musailamah tersebut dijadikan sabda rekomendasi oleh Musailamah dan tokoh yang lain. Mereka klaim bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ meridhai Musailamah sebagai penggantinya. Tak lama Musailamah pun mengumumukan kenabiannya di tengah-tengah bani Hanifah. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai Musailamah al-Kadzab.
Kemudian Nabi ﷺ menunjuk Nuharur Rijal bin Unfuwah untuk mengajarkan agama kepada penduduk Yamamah. Ibnu Unfuwah adalah laki-laki yang berilmu, luas pandangannya, dan cerdas. Siapa sangka, ternyata Ibnu Unfuwah malah bergabung dengan Musailamah. Kesungguhannya di hadapan Rasulullah ﷺ hanyalah riya’ semata. Ibnu Unfuwah mengakui kenabian Musailamah. Menurutnya Musailamah bersama-sama Nabi Muhammad ﷺ dalam risalah kenabian. Orang-orang bani Hanifah pun simpati kepadanya. Dan Musailamah menjadikannya orang kepercayaan (Futuh al-Buldan oleh al-Baladzuri, Hal: 97, Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk oleh ath-Thabari, 3: 137-138, dan al-Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir, 5: 50-52).
Rasulullah ﷺ Berbalas Surat dengan Musailamah
Setelah klaim kenabiannya diterima di tengah-tengah kaumnya, rasa percaya diri Musailamah kian bertambah. Semakin jauhlah kesesatannya. Ia mulai memposisikan diri sebagai seorang utusan Allah. Ia meniru Nabi Muhammad ﷺ yang berdakwah melalui surat kepada para raja dan penguasa. Saking percaya dirinya, ia mengirim surat kepada Nabi Muhammad ﷺ:
مِنْ مُسَيْلِمَةَ رَسُولِ اللَّهِ، إلَى مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ: سَلَامٌ عَلَيْكَ، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي قَدْ أُشْرِكْتُ فِي الْأَمْرِ مَعَكَ، وَإِنَّ لَنَا نِصْفَ الْأَرْضِ، وَلِقُرَيْشٍ نِصْفَ الْأَرْضِ، وَلَكِنَّ قُرَيْشًا قَوْمٌ يَعْتَدُونَ
“Dari Musailamah seorang rasulullah kepada Muhammad seorang rasulullah.
Keselamtan atasmu, amma ba’du:
Sungguh aku sama denganmu dalam kerasulan ini. Bagi kami bagian bumi tertentu dan bagi Quraisy bagian bumi lainnya. Akan tetapi orang-orang Quraisy adalah kaum yang melampaui batas.”
Perhatikanlah, para penyeru kesesatan sejak dulu terbiasa menggunakan pilihan kata yang indah untuk menipu manusia. Musailamah menyebut Nabi Muhammad sebagai orang yang melampaui batas. Karena ingin menguasai seluruh jazirah Arab. Sementara ia mengisyaratkan bahwa dirinya adalah orang yang bijak karena ingin berbagi.
Demikian juga para penyeru kesesatan di zaman ini, mereka menggunakan bahasa yang indah untuk memikat hati. Mereka sebut ajaran mereka mencerahkan sementara berpegang kepada Alquran dan sunnah adalah kejumudan dan kaku. Mereka sebut ajaran mereka toleran. Sementara yang lainnya adalah radikal.
Rasulullah ﷺ tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Beliau tidak ingin keraguan dan kerancuan ini tersebar. Beliau ﷺ pun membalas surat Musailamah:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ، إلَى مُسَيْلِمَةَ الْكَذَّابِ: السَّلَامُ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الْأَرْضَ للَّه يُورَثُهَا مَنْ يُشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad utusan Allah kepada Musailamah sang pendusta.
Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk, amma ba’du:
Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Setelah membaca surat itu, Musailamah memutilasi sahabat Nabi, Hubaib bin Zaid radhiallahu ‘anhu, yang Nabi tugaskan untuk mengantarkan surat kepada Musailamah al-Kadzab. Peristiwa ini terjadi di akhir tahun ke-10 H.
Ketika Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menggantikan beliau memimpin umat Islam. Di antara kebijakan prioritas Abu Bakar adalah adalah mengirim pasukan menghadapi orang-orang murtad. Semisal pengikut Musailamah al-Kadzab dan lainnya. Abu Bakar mengirim Ikrimah bin Abi Jahl dan didampingi Syurahbil bin Hasanah menghadapi nabi palsu pendusta itu.
Setelah mengemban tugas, Ikrimah terburu-buru melakukan penyerangan. Ia dan pasukannya pun berhasil dipukul mundur para pembela Musailamah. Ikrimah mengirim surat kepada Abu Bakar, mengabarkan kondisi di palangan dan meminta masukan kepadanya. Abu Bakar mengatakan, “Wahai Ikrimah, aku tidak menyaksikanmu dan engkau juga tidak melihatku. Janganlah engkau kembali (ke Madinah) sehingga moral pasukanmu turun. Teruslah berjalan hingga engkau berjumpa dengan Hudzaifah dan Urfujah. Keduanya bersama orang-orang Oman dan Mahrah. Bergabunglah bersamanya! Apabila keduanya sibuk (dengan tugas mereka), teruslah maju. Berjalanlah! Berjalanlah! Bersama pasukanmu tanpa menghiraukan orang-orang yang kalian temui. Hingga nanti kalian berjumpa dengan Muhajir bin Abi Umayyah di Yaman dan atau di Hadhramaut”.
Abu Bakar juga menulis surat kepada Syurahbil agar tetap di posisinya hingga Khalid bin Walid datang. Setelah misi di Yamamah tuntas, mereka diperintahkan bergabung dengan Amr bin al-Ash menuju Qadha’ah. Khalid menunggu utusan yang dikirim kepadanya di wilayah al-Baththah. Ketika mereka tiba, barulah ia berangkat bersama pasukannya ke Yamamah menghadapi Musailamah.
Hari Aqriba
Di Yamamah, Musailamah mendengar pasukan Khalid telah mendekat. Ia memberi sambutan dengan menyiagakan pasukannya di Aqriba. Saat kedua pasukan berjumpa, tidak ada harga tawar kecuali peperangan. Pasukan kecil Musailamah yang terdiri dari 40-60 orang berhasil dikalahkan. Perang pembuka ini dimenangkan oleh Khalid dan pasukannya.
Keesokan paginya, pasukan Khalid kembali berjumpa dengan pembela Musailamah. Seruan dan motivasi pembela nabi palsu itu adalah kesukuan dan kehormatan keluarga. Anak Musailamah al-Kadzab, Syurahbil bin Musailamah, memotivasi pasukannya dengan mengatakan, “Berperanglah untuk membela nasab kalian dan jagalah istri-istri kalian!”
Panji kaum muhajirin dipegang oleh Salim maula Abi Hudzaifah radhiallahu ‘anhu. Orang-orang muhajirin berkata kepadanya, “Kami khawatir akan ditimpa kekalahan karena dirimu”. Para sahabat muhajirin meragukan kepemimpinan Salim dalam perang ini. Salim menjawab, “Kalau demikian, aku adalah sejelek-jelek pembawa Alquran”. Ia menepis keraguan muhajirin. Adapun panji perang kaum anshar dipegang oleh Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu ‘anhu, khatib Rasulullah ﷺ.
Dengan pasukan besar, tidak kurang dari 100.000 orang, pasukan Musailamah al-Kadzab berada di atas angin dan berhasil menekan 12.000 pasukan kaum muslimin di awal peperangan. Mereka berhasil memorak-morandakan pertahanan kaum muslimin. Mereka menerobos barisan tentara-tentara Allah hingga berhasil masuk ke dalam kemah panglima Khalid bin al-Walid. Istri Khalid hampir tewas dalam peristiwa itu.
Dalam situasi genting tersebut, Tsabit bin Qais memotivasi dirinya dan kaum muslimin dengan mengatakan, “Alangkah buruknya yang kalian biasakan (perbuat) ini wahai kaum muslimin. Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang mereka –orang-orang Yamamah- perbuat. Dan aku mohon maaf-Mu atas apa yang diperbuat kaum muslimin”. Kemudian ia berperang hingga menemui ajalnya.
Abu Hudzaifah berkata, “Wahai para penghafal Alquran, hiasilah Alquran dengan amalan!”.
Zaid bin al-Khattab berkata, “Wahai para pasukan, buanglah kerisauan kalian. Hadapi musuh kalian. Melangkahlah maju. Demi Allah, aku tidak akan berbicara sepatah kata pun hingga aku berjumpa dengan Allah. Barulah aku berbicara kepada-Nya dengan hujjahku”. Kemudian Zaid berperang tanpa rasa takut dan gentar.
Saudara Umar bin al-Khattab dan pemimpin pasukan sayap kanan ini dipertemukan Allah dengan Naharur Rijal. Orang yang mengkhianati amanah Rasulullah ﷺ dan malah memilih bergabung dengan Musailamah al-Kadzab. Pedang keduanya pun saling hantam hingga Naharur Rijal tewas. Kematian tangan kanan Musailamah ini kontan menurunkan moral pasukan bani Hanifah.
Kecamuk Perang Yamamah kian memanas. Teriakan pengobar semangat, amarah, dan jeritan luka menggema dimana-mana. Gemerincing dan denting pedang saling menghantam. Desir suara anak panah dan tombak membelah angin. Deru derap langkah pasukan berpacu dengan kuda-kuda. Mental yang lemah akan menggoyahkan langkah. Niat yang keliru membuat jihad yang berat tiadalah arti selain lumuran debu. Di kaki, tangan, dan wajah. Jasad-jasad terhempas ke bumi berpisah dengan nyawanya. Itulah pemandangan yang terjadi dalam peperangan.
Terkadang kaum muslimin menekan. Kadang bani Hanifah memegang kendali perang. Gugurlah dalam perang ini sahabat-sahabat mulia; Salim maula Abu Hudzaifah. Seorang qari Rasulullah. Dan gugur pula Zaid bin al-Khattab. Serta tokoh-tokoh Islam selain keduanya.
Tewasnya Nabi Palsu
Musailamah al-Kadzab dan para pembelanya terpojok dan lari ke kebun yang memiliki pagar tinggi. Pasukan sebanyak itu membuat kebun menjadi penuh sesak. 6000 pasukan Musailamah berlindung di dalamnya. Kaum muslimin berusaha mengejar mereka, namun tak mampu memasukinya. Hingga al-Barra bin Malik mengeluarkan ide “nekat”. Ia berkata, “Letakkan aku dalam baju besi. Kemudian angkat dengan ujung tombak. Angkatlah, hingga aku bisa mencapai ujung atas pagar. Lalu lemparkanlah aku ke dalam kebun. Akan kubukakan pintu dari dalam”.
Awalnya, orang-orang menolak usulan al-Barra. Mereka khawatir akan keselamatannya. Sampai akhirnya mereka mengangkatnya dan melemparnya ke dalam kebun. Al-Barra pun masuk ke dalam kebun. Keberanian, keahlian dalam bela diri dan menggunakan senjata mengantakan al-Barra ke pintu gebarng setelah ia membunuh 15 orang. Gerbang kebun terbuka.
Kebun yang awalnya menjadi benteng Musailamah. Kini menjadi kebun kematian untuknya. Kaum muslimin berlari membanjiri kebun. Setelah semuanya masuk, al-Barra menutup kembali pintu tersebut dan melemparkan kuncinya ke seberang pagar. Sehingga tidak ada satu pun yang bisa keluar.
Tempat para petani itu kini berubah menjadi medan laga. Pasukan Musailamah al-Kadzab kian terpojok. Sampai akhirnya tewaslah si nabi palsu, Musailamah al-Kadzab, di tangan Wahsyi bin Harb bekas budak Jabir bin Muth’im dan seorang mujahid dari anshar, Abu Dujanah Simak bin Khirasyah radhiallahu ‘anhu.
Tewasnya Musailamah meruntuhkan moral pengikutnya. Kebanggaan dan kesombongan mereka serta merta luruh, larut dalam situasi itu. Mereka seolah-olah tersadar dari sihir, bingung tak berbuat sesuatu pun. Akhirnya mereka menyerah. Setelah sejumlah 21.000 dari mereka tewas dalam pertempuran. Dan ada yang mengatakan 500 atau 600 atau bahkan 1200 kaum muslimin syahid. Jumlah korban yang besar.
Setelah perang usai, orang-orang bani Hanifah didatangkan ke Madinah untuk bertemu dengan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu. Mereka diminta bercerita tentang kenabian Musailamah. Abu Bakar bertanya tentang sajak yang dibuat Musailamah. Mereka menyebutkan beberapa contoh di antaranya. Lalu Abu Bakar berkomentar, “Subhanallah!! Celak kalian! Kalimat-kalimat tersebut bukanlah berasal dari Tuhan bahkan orang yang baik (sekalipun). Bagaimana hal itu bisa membimbing kalian?” (Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk oleh ath-Thabari, 3:281-301, al-Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir, 6:237 & 324, Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Saad, 3:377, dan al-Ishabah oleh Ibnu Hajar, 3:15).
Inilah akhir dari kisah nabi palsu Musailamah al-Kadzab. Ia berdusta atas wahyu, hingga kini gelar al-Kadzab (si pendusta) selalu disandang di akhir namanya. Kehinaan ia dapatkan di dunia dan kelak di akhirat sana.
0 comments:
Post a Comment