Al Hawi Condet
Kramat Alhawi Condet
Al Habib Ali bin Husein al-Attas atau lebih dikenal dengan Habib Ali Bungur adalah ulama yang masyhur ditanah Betawi. Jika dirunut garis keturunannya, ia punya hubungan keturunan langsung dengan Nabi Muhammad S.A.W[2]. Pada akhir hayatnya, ia dan keluarga tinggal di Bungur, Jakarta Pusat[3]. Sebelumnya, guru sejumlah kiai Jakarta ini tinggal di Cikini, Jakarta Pusat. Hingga kala itu namanya dikenal dengan sebutan Habib Ali Cikini[3]. Kala itu Cikini merupakan sebuah kampung yang masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan, ia tinggal bersama-sama rakyat jelata, orang yang mengenal ia sering mengenang sifat ia yang hidupnya sederhana, tawadhu`, teguh memegang prinsip, menolak pengkultusan manusia, berani membela kebenaran, mendalam di bidang ilmu pengetahuan, luas dalam pemikiran, tidak membedakan antara kaya dan miskin, mendorong terbentuknya Negara Indonesia yanga bersatu, utuh serta berdaulat, tidak segan-segan menegur para pejabat yang mendatanginya dan selalu menyampaikan agar jurang pemisah antara pemimpin dan rakyat dihilangkan dan rakyat mesti dicintai[3]. Semasa hidupnya ia tak pernah berhenti dalam berdakwah.
Nasab Habib Ali Bungur
Habib Ali bin Husein bin Muhammad bin Husein bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas bin Agil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Mauladawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammmad Sahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam
Masa Kecil
Habib Ali Bungur lahir di Huraidhah, Hadhramaut, 1 Muharram 1309 H atau sekitar 1891 M[4] ( (7 Agustus 1891).[5] Ia hidup dalam keluarga yang sangat taat beragama dan menjunjung tinggi tradisi para shalafunassalihin dari kalangan Ba'alawi[4]. Pendidikan pertama kali ia dapatkan dari kedua orangtuanya[4]. Saat usia 6 tahun telah hafal 30 Juzz Alqur'an di tangan Ibundanya, dan pada usia 12 Tahun sudah Hafal Kitab Shohih Bukhari dan Muslim serta kitab kitab lain seperti: Minhaj, Bahjah, Tuhfah dan fatawa Qubro[6]. Semenjak usia 6 tahun ia belajar berbagai ilmu keislaman pada para ulama dan auliya yang hidup di Hadhramaut saat itu[1].
Setelah menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 dalam usia 21 tahun ia pun menunaikan ibadah haji di Makkah[7], serta berziarah ke makam datuknya Rasulullah S.A.W di Madinah[1]. Habib Ali menetap selama lima tahun di Makkah[3][1], yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama, yang berada di Hijaz[1]. Pada tahun 1917, ia kembali ke Huraidhah, dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu, selama tiga tahun
Hijrah Ke Indonesia
Pada 1920, dalam usia 29 tahun, ia pun berangkat ke Jakarta, Indonesia[7]. Hanya dalam waktu singkat, almarhum yang selalu dekat dengan rakyat itu, telah dapat menguasai bahasa Indonesia[3]. Ia mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang dibangun oleh pelukis Raden Saleh[3]. Ia dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat setempat[3]. Setelah menetap di Jakarta, ia berguru kepada para ulama yang berada di tanah air, di antaranya:
Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Empang-Bogor)[3][1][7]
Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas (Pekalongan)[3][1][7]
Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya)[3][1][7]
Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (Bondowoso)[3][1][7]
Dakwah
Semasa hidupnya, ia tidak pernah berhenti dan tak kenal lelah dalam berdakwah. Salah satu karya terbesarnya adalah kitab Tajul A’ras fi Manaqib Al-Qutub Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Attas, sebuah kitab sejarah para ulama Hadhramaut yang pernah ia jumpai, dari masa penjajahan Inggris di Hadhramaut, hingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di Indonesia dan juga buku itu juga berisi tentang beberapa kandungan ilmu tasawuf dan Thariqah Alawiyah[3][1].
Habib yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama terkemuka di Betawi itu, pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fikih, falsafah, tasawuf, dan perbandingan mazhab[3]. Menguasai berbagai kitab kuning dari berbagai mazhab, Habib Ali Alatas, selama 56 tahun telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama[3]. Bukan saja di Indonesia, juga di Malaysia dan Singapura, banyak muridnya
Al-Habib Ali bin Husin Al-Attas semasa hidupnya tak pernah berhenti memberikan pengajaran kepada Muslimin[3]. Dengan jubah dan serban serta selempang hijau (radi), Habib Ali Cikini selalu naik beca atau kendaraan umum, karena sikap ia yang ingin berdiri diatas kaki sendiri[3]. Sering di antara murid-muridnya memaksa ia untuk menaiki mobilnya karena beca telah sukar dan melihat umur Habib tadi sudah lanjut[3]. Haji Abu Bakar Aceh, anggota MPR, secara tepat menyatakan bahwa Almarhum Habib Ali bin Husin Al-Attas telah memanifestasikan sikap hidup keluarga Ahlil Bait, yakni menunjukkan sikap kerakyatan, tidak berlebihan dan dicintai Rakyat semuanya[3].
Triumvirat
Sekitar tahun 1940 Jakarta atau dulu di sebut Betawi punya Banyak Tokoh ulama dan pejuang dan yang paling menjadi panutan dan memiliki banyak murid yang tersebar di tanah air adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi(Habib Ali Kwitang), Habib Ali bin husen Al athos dan Habib Salim bin Djindan[3]. Tiga Serangkai(triumvirat) Ulama tersebut yang dengan gencar memperjuangkan Syiar-syiar agama Ijlam[3].Habib Salim bin Djindan mengatakan bahwa Al-Habib Ali bin Husein Al-Atthas dan Al Habib Ali Kwitang bagaikan kedua bola matanya, dikarekan keluasan khazanah keilmuan kedua habib itu[3].
Murid Habib Ali Bungur
Seperti dikemukakan oleh putranya, yang kini meneruskan majelis taklim ‘Al-Khairat’ di Condet, ayahnya memang tidak mau menonjolkan diri. Padahal, di antara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu, seperti:
Bahkan, para muridnya itu kemudian menjadi guru para mubaligh, dan perguruan tinggi Islam.
Menurut Habib Husein (putra Habib Ali Bungur), ayahnya sangat gandrung kepada persatuan umat (ukhuwwah Islamiyah).[butuh rujukan] Di samping sabar dan tidak mengenal lelah dalam melaksanakan dakwah.[butuh rujukan] Selain di kediamannya, menurut putranya Habib Husein, ayahnya juga mengajar di berbagai tempat.[butuh rujukan] Seperti pada setiap habis shalat Jumat, dia mengajar di Attahiriyah.[butuh rujukan] Ulama yang ikut berguru, bukan hanya dari Jakarta, tetapi juga dari Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Habib Husein sendiri di kediamannya di Condet, membuka pengajian untuk masyarakat setempat setiap Ahad malam yang dihadiri sekitar 300-400 jamaah.[butuh rujukan]
Meninggal Dunia
Ia wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dam usia 88 tahun dan ia dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, condet Jakarta timur[1].
Kramat Al Hawi, Condet Jakarta Timur, Habib pernah Mengisahkan dahulu bila Tentara Belanda latihan Baris berbaris pasti Melewati Kramat Al Hawi, para Tentara kalo menyebut para WaliAllah itu adalah " Anak Tuhan ", saat itu sekitar Ratusan Tentara Belanda pada siap untuk Latihan Baris Berbaris dan Menginstruksikan kepada semua Batalionnya bila latihan Baris Berbaris kalo melewati Kawasan Kramat Al Hawi, jangan pada Berisik semuanya harus diam dan Menghormati para Anak Tuhan, ( Para WaliAllah ), saat mulai Baris Berbaris biasa pada menyanyikan Lagu Kebangsaan Belanda, dan mulailah sang komandan memberi perintah untuk mulai Gerak Jalan...
semuanya berjalan dengan baik dan saat sang Komandan dan pasukannya melewati Makam para WaliAllah di Kramat Al Hawi, itu Komanda membuka topi dan menunduk sambil berjalan tanpa suara suara lagu kebangsaan. SUBHANALLAH benar benar Menghormati, tapi Komandan ini tidak sadar bahwa ada 3 Batalion yang barisannya Tertinggal dan menyanyikan lagu kebangsaan dengan Semangat tanpa disadarinya 3 Batalion ini melewati Makam Kramat Al Hawi dengan Gagahnya mereka membawa lagu Kebangsaan mereka...
WALHASIL 3 Batalion ini Muter muter aja di Wilayah Makam Kramat para WaliAllah sampe Malam..., Komandannya baru Menyadari kalo 3 Batalionnya belom balik ke Markas pas di cek Astagfirrullahal adzim mereka semua masih berputar putar, kemudian Komandan ini mendatangi pengurus Makam Kramat tsb dan Meminta Maaf kepada para WaliAllah. Alhamdulillah semua berjalan lagi seperti semula..., PENGHORMATAN SEMUA KOMANDAN bahkan sampe ke KAISARAN BELANDA semuanya Menghormati para WaliAllah.
Al Habib Ali bin Husein al-Attas atau lebih dikenal dengan Habib Ali Bungur adalah ulama yang masyhur ditanah Betawi. Jika dirunut garis keturunannya, ia punya hubungan keturunan langsung dengan Nabi Muhammad S.A.W[2]. Pada akhir hayatnya, ia dan keluarga tinggal di Bungur, Jakarta Pusat[3]. Sebelumnya, guru sejumlah kiai Jakarta ini tinggal di Cikini, Jakarta Pusat. Hingga kala itu namanya dikenal dengan sebutan Habib Ali Cikini[3]. Kala itu Cikini merupakan sebuah kampung yang masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan, ia tinggal bersama-sama rakyat jelata, orang yang mengenal ia sering mengenang sifat ia yang hidupnya sederhana, tawadhu`, teguh memegang prinsip, menolak pengkultusan manusia, berani membela kebenaran, mendalam di bidang ilmu pengetahuan, luas dalam pemikiran, tidak membedakan antara kaya dan miskin, mendorong terbentuknya Negara Indonesia yanga bersatu, utuh serta berdaulat, tidak segan-segan menegur para pejabat yang mendatanginya dan selalu menyampaikan agar jurang pemisah antara pemimpin dan rakyat dihilangkan dan rakyat mesti dicintai[3]. Semasa hidupnya ia tak pernah berhenti dalam berdakwah.
Nasab Habib Ali Bungur
Habib Ali bin Husein bin Muhammad bin Husein bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas bin Agil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Mauladawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammmad Sahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam
Masa Kecil
Habib Ali Bungur lahir di Huraidhah, Hadhramaut, 1 Muharram 1309 H atau sekitar 1891 M[4] ( (7 Agustus 1891).[5] Ia hidup dalam keluarga yang sangat taat beragama dan menjunjung tinggi tradisi para shalafunassalihin dari kalangan Ba'alawi[4]. Pendidikan pertama kali ia dapatkan dari kedua orangtuanya[4]. Saat usia 6 tahun telah hafal 30 Juzz Alqur'an di tangan Ibundanya, dan pada usia 12 Tahun sudah Hafal Kitab Shohih Bukhari dan Muslim serta kitab kitab lain seperti: Minhaj, Bahjah, Tuhfah dan fatawa Qubro[6]. Semenjak usia 6 tahun ia belajar berbagai ilmu keislaman pada para ulama dan auliya yang hidup di Hadhramaut saat itu[1].
Setelah menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 dalam usia 21 tahun ia pun menunaikan ibadah haji di Makkah[7], serta berziarah ke makam datuknya Rasulullah S.A.W di Madinah[1]. Habib Ali menetap selama lima tahun di Makkah[3][1], yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama, yang berada di Hijaz[1]. Pada tahun 1917, ia kembali ke Huraidhah, dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu, selama tiga tahun
Hijrah Ke Indonesia
Pada 1920, dalam usia 29 tahun, ia pun berangkat ke Jakarta, Indonesia[7]. Hanya dalam waktu singkat, almarhum yang selalu dekat dengan rakyat itu, telah dapat menguasai bahasa Indonesia[3]. Ia mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang dibangun oleh pelukis Raden Saleh[3]. Ia dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat setempat[3]. Setelah menetap di Jakarta, ia berguru kepada para ulama yang berada di tanah air, di antaranya:
Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Empang-Bogor)[3][1][7]
Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas (Pekalongan)[3][1][7]
Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya)[3][1][7]
Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (Bondowoso)[3][1][7]
Dakwah
Semasa hidupnya, ia tidak pernah berhenti dan tak kenal lelah dalam berdakwah. Salah satu karya terbesarnya adalah kitab Tajul A’ras fi Manaqib Al-Qutub Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Attas, sebuah kitab sejarah para ulama Hadhramaut yang pernah ia jumpai, dari masa penjajahan Inggris di Hadhramaut, hingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di Indonesia dan juga buku itu juga berisi tentang beberapa kandungan ilmu tasawuf dan Thariqah Alawiyah[3][1].
Habib yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama terkemuka di Betawi itu, pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fikih, falsafah, tasawuf, dan perbandingan mazhab[3]. Menguasai berbagai kitab kuning dari berbagai mazhab, Habib Ali Alatas, selama 56 tahun telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama[3]. Bukan saja di Indonesia, juga di Malaysia dan Singapura, banyak muridnya
Al-Habib Ali bin Husin Al-Attas semasa hidupnya tak pernah berhenti memberikan pengajaran kepada Muslimin[3]. Dengan jubah dan serban serta selempang hijau (radi), Habib Ali Cikini selalu naik beca atau kendaraan umum, karena sikap ia yang ingin berdiri diatas kaki sendiri[3]. Sering di antara murid-muridnya memaksa ia untuk menaiki mobilnya karena beca telah sukar dan melihat umur Habib tadi sudah lanjut[3]. Haji Abu Bakar Aceh, anggota MPR, secara tepat menyatakan bahwa Almarhum Habib Ali bin Husin Al-Attas telah memanifestasikan sikap hidup keluarga Ahlil Bait, yakni menunjukkan sikap kerakyatan, tidak berlebihan dan dicintai Rakyat semuanya[3].
Triumvirat
Sekitar tahun 1940 Jakarta atau dulu di sebut Betawi punya Banyak Tokoh ulama dan pejuang dan yang paling menjadi panutan dan memiliki banyak murid yang tersebar di tanah air adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi(Habib Ali Kwitang), Habib Ali bin husen Al athos dan Habib Salim bin Djindan[3]. Tiga Serangkai(triumvirat) Ulama tersebut yang dengan gencar memperjuangkan Syiar-syiar agama Ijlam[3].Habib Salim bin Djindan mengatakan bahwa Al-Habib Ali bin Husein Al-Atthas dan Al Habib Ali Kwitang bagaikan kedua bola matanya, dikarekan keluasan khazanah keilmuan kedua habib itu[3].
Murid Habib Ali Bungur
Seperti dikemukakan oleh putranya, yang kini meneruskan majelis taklim ‘Al-Khairat’ di Condet, ayahnya memang tidak mau menonjolkan diri. Padahal, di antara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu, seperti:
- K.H. Abdullah Sjafi’ie, pimpinan majelis taklim Assyfi’iyah,[8].
- K.H. Tohir Rohili, pimpinan majelis taklim Attahiriyah,[8]
- K.H. Syafi’i Hadzami (ketua umum MUI Jakarta),[8]
- K.H. Abdurrazaq Makmun[8]
- K.H. Nur Ali (Ulama Bekasi)[8]
- Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf (Bukit Duri Jakarta)[8]
- Al-Habib Muhammad bin Ali Al Habsyi (Putera Habib Ali Kwitang)[8]
- Al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih (Putera Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyah,Malang)[8]
- Prof. Dr. H. Abubakar Aceh[8]
Bahkan, para muridnya itu kemudian menjadi guru para mubaligh, dan perguruan tinggi Islam.
Menurut Habib Husein (putra Habib Ali Bungur), ayahnya sangat gandrung kepada persatuan umat (ukhuwwah Islamiyah).[butuh rujukan] Di samping sabar dan tidak mengenal lelah dalam melaksanakan dakwah.[butuh rujukan] Selain di kediamannya, menurut putranya Habib Husein, ayahnya juga mengajar di berbagai tempat.[butuh rujukan] Seperti pada setiap habis shalat Jumat, dia mengajar di Attahiriyah.[butuh rujukan] Ulama yang ikut berguru, bukan hanya dari Jakarta, tetapi juga dari Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Habib Husein sendiri di kediamannya di Condet, membuka pengajian untuk masyarakat setempat setiap Ahad malam yang dihadiri sekitar 300-400 jamaah.[butuh rujukan]
Meninggal Dunia
Ia wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dam usia 88 tahun dan ia dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, condet Jakarta timur[1].
Kramat Al Hawi, Condet Jakarta Timur, Habib pernah Mengisahkan dahulu bila Tentara Belanda latihan Baris berbaris pasti Melewati Kramat Al Hawi, para Tentara kalo menyebut para WaliAllah itu adalah " Anak Tuhan ", saat itu sekitar Ratusan Tentara Belanda pada siap untuk Latihan Baris Berbaris dan Menginstruksikan kepada semua Batalionnya bila latihan Baris Berbaris kalo melewati Kawasan Kramat Al Hawi, jangan pada Berisik semuanya harus diam dan Menghormati para Anak Tuhan, ( Para WaliAllah ), saat mulai Baris Berbaris biasa pada menyanyikan Lagu Kebangsaan Belanda, dan mulailah sang komandan memberi perintah untuk mulai Gerak Jalan...
semuanya berjalan dengan baik dan saat sang Komandan dan pasukannya melewati Makam para WaliAllah di Kramat Al Hawi, itu Komanda membuka topi dan menunduk sambil berjalan tanpa suara suara lagu kebangsaan. SUBHANALLAH benar benar Menghormati, tapi Komandan ini tidak sadar bahwa ada 3 Batalion yang barisannya Tertinggal dan menyanyikan lagu kebangsaan dengan Semangat tanpa disadarinya 3 Batalion ini melewati Makam Kramat Al Hawi dengan Gagahnya mereka membawa lagu Kebangsaan mereka...
WALHASIL 3 Batalion ini Muter muter aja di Wilayah Makam Kramat para WaliAllah sampe Malam..., Komandannya baru Menyadari kalo 3 Batalionnya belom balik ke Markas pas di cek Astagfirrullahal adzim mereka semua masih berputar putar, kemudian Komandan ini mendatangi pengurus Makam Kramat tsb dan Meminta Maaf kepada para WaliAllah. Alhamdulillah semua berjalan lagi seperti semula..., PENGHORMATAN SEMUA KOMANDAN bahkan sampe ke KAISARAN BELANDA semuanya Menghormati para WaliAllah.
0 comments:
Post a Comment