Keramat Lubang Buaya
Dato Banjir ubang Buaya
Selain Monumen Pancasila Sakti, ada satu ikon kampung Lubang Buaya yang terlupakan. Ada sebuah tempat bernama Kramat Dato Banjir, letaknya kurang lebih 100 meter dari tembok belakang monumen Pancasila Sakti. Tepatnya diujung Jl.Kramat, persis dipinggir anak kali sunter.
Konon tempat ini ialah makam dari Pangeran Syarif Hidayatullah bin Syaikh Abdurrahman, salah seorang penyebar dakwah Islam di tanah Jayakarta. Gelar Dato (Datuk) sendiri lazim disematkan pada Ulama atau tokoh yang disegani pada abad 17 hingga ke 19.
Adapula yang meyakini bahwa disini bukan makam beliau, melainkan hanya petilasannya atau tempat singgahnya dikarenakan tidak jauh di wilayah Lubang Buaya juga ada Kramat serupa yang disebut Kramat pangeran syarif.
Ada yang meyakini bahwa Dato Banjir yang dimaksud ialah Syarif Hidayatullah nama lain Sunan Gunung Jati Cirebon. Namun, adapula yang meyakini yang dimaksud ialah Syarif Hidayatullah keturunan Sultan Maulana Hasanuddin pendiri kerajaan islam Banten yang tak lain merupakan anak dari Sunan Gunung Jati Cirebon.
Perlu studi sejarah lebih lanjut untuk memastikan hal ini, apakah benar Sunan Gunung Jati ataukah seorang Ulama yang nasabnya tersambung ke Sunan Gunung Jati?
Dato Banjir juga dipercaya sebagai "penemu" atau "pemberi nama" kampung Lubang Buaya.
Banyak penyesatan sejarah yang dibiarkan, seolah nama kampung Lubang Buaya dinisbatkan dengan sumur tempat para korban peristiwa G30S-PKI ditimbun. Padahal, nama kampung Lubang Buaya sudah ada jauh sebelum peristiwa makar tahun 1965 tersebut terjadi.
Menurut cerita turun menurun dari para sesepuh Lubang Buaya, ketika Dato Banjir dalam perjalanan dakwahnya menyusuri aliran sungai menggunakan getek, tiba-tiba geteknya berhenti tanpa sebab. Ketika sedang memeriksa dasar sungai menggunakan galah, Dato menemukan sebuah lubang yang diduga merupakan sarang Buaya. Kemudian Dato Banjir singgah di tempat geteknya berhenti dan berdakwah disana hingga lambat laun dikenal dengan sebutan kampung Lubang Buaya.
Selain cerita di atas ada versi lain asal-usul nama kampung Lubang Buaya, Saya akan ceritakan di kesempatan lain.
Kembali ke Dato Banjir, yang menarik untuk dibahas ialah mengapa masyarakat menggelari beliau Dato Banjir? Apakah ada hubungannya dengan kata "banjir" yang sekarang identik dengan musibah di Jakarta?
Pangeran Syarif digelari Dato Banjir sebab dipercaya memiliki karomah "mendatangkan" dan "menolak" banjir. Konon saat zaman Hindia Belanda, kampung Lubang Buaya pernah akan diserbu oleh pasukan Belanda. Datok Banjir kemudian berdo'a dan seketika pasukan Belanda terombang-ambing seperti orang yang akan tenggelam. Menurut penglihatan mereka, Kampung Lubang Buaya rupanya berubah menjadi lautan, sehingga mereka mengurungkan niat untuk menyerbu.
Karomah ini dipercaya tidak hanya terjadi saat Dato Banjir masih ada di Lubang Buaya, melainkan hingga sepeninggalnya. Ketika terjadi peristiwa makar G30S-PKI misalnya, beberapa hari sebelum peristiwa G30S-PKI tahun 1965 warga Lubang Buaya melihat kemunculan Buaya Putih di kali Sunter yang menjadi pertanda akan terjadinya peristiwa besar, begitupula menjelang peristiwa reformasi 1998.
Saat operasi penumpasan G30S-PKI pun konon karomah Dato Banjir berulang kembali, kampung Lubang Buaya kembali berubah menjadi lautan sehingga RPKAD batal menyerang basis PKI di Lubang Buaya setelah berhasil merebut Pangkalan Udara Halim PK. Tidak seperti di daerah lain, dimana penumpasan PKI banyak menelan korban jiwa dari rakyat sipil karena taktik PKI yang menjadikan rakyat sebagai tameng hidup. Konon yang dilihat oleh RPKAD hanya bebek-bebek yang berenang hilir mudik di rawa. Setelah beberapa hari kemudian, RPKAD baru bisa memasuki kampung Lubang Buaya setelah sukwan PKI melarikan diri, sehingga tidak jatuh korban jiwa.
(Soal peristiwa G30S-PKI dan kaitannya dengan Kampung Lubang Buaya insya Allah kapan-kapan Saya buatkan catatan tersendiri)
Selain mampu "mendatangkan" banjir, dipercaya pula karomah "menolak" banjir. Daerah di sekitar Kramat Dato Banjir dipercaya tidak akan tersentuh banjir. Meskipun letak Kramat Dato Banjir sendiri nya persis di pinggir anak kali sunter dan hanya beberapa meter dari Kali Sunter itu sendiri, sederas apapun curah hujan dan sebesar apapun debit air di Kali Sunter, air akan lewat begitu saja tanpa mampir.
Entah benar faktor karomah, atau faktor geografis lainnya, faktanya hal ini benar terjadi. Ketika curah hujan tinggi, yang kebanjiran justru pemukiman yang letaknya jauh dari aliran kali sunter, biasanya karena faktor saluran got yang mengecil atau tersumbat.
Karena karomahnya ini hingga beberapa tahun silam, Kramat Dato Banjir masih ramai dikunjungi peziarah di Bulan Maulid atau menjelang Bulan Puasa dengan beragam niat masing-masing tentunya.
Bagi Warga Lubang Buaya sendiri Dato Banjir mendapat penghormatan yang sangat khusus. Warga Lubang Buaya, khususnya warga asli lubang buaya secara khusus "mengirimkan" Alfatihah kepada Mbah Pangeran Syarif kramat Dato Banjir Lubang Buaya ketika menggelar pengajian, tahlilan, atau hajatan. Bagaimanapun, Dato Banjir amat berjasa dalam mengislamkan masyarakat Lubang Buaya pada masa lalu.
Berkat Dato Banjir pula, Lubang Buaya dikenal menjadi lingkungan yang agamis. Dato Banjir dikenal keras kepada segala bentuk maksiat dan kemusyrikan diantaranya melarang pertunjukan seni cokek, wayang kulit dan semisalnya yang identik dengan maksiat dan kemusyrikan masuk ke Lubang Buaya. Bahkan kelompok seni topeng Betawi H. Bokir yang terkenal di pinggiran Jakarta hingga sekarang tidak berani manggung di Lubang Buaya.
Selain Monumen Pancasila Sakti, ada satu ikon kampung Lubang Buaya yang terlupakan. Ada sebuah tempat bernama Kramat Dato Banjir, letaknya kurang lebih 100 meter dari tembok belakang monumen Pancasila Sakti. Tepatnya diujung Jl.Kramat, persis dipinggir anak kali sunter.
Konon tempat ini ialah makam dari Pangeran Syarif Hidayatullah bin Syaikh Abdurrahman, salah seorang penyebar dakwah Islam di tanah Jayakarta. Gelar Dato (Datuk) sendiri lazim disematkan pada Ulama atau tokoh yang disegani pada abad 17 hingga ke 19.
Adapula yang meyakini bahwa disini bukan makam beliau, melainkan hanya petilasannya atau tempat singgahnya dikarenakan tidak jauh di wilayah Lubang Buaya juga ada Kramat serupa yang disebut Kramat pangeran syarif.
Ada yang meyakini bahwa Dato Banjir yang dimaksud ialah Syarif Hidayatullah nama lain Sunan Gunung Jati Cirebon. Namun, adapula yang meyakini yang dimaksud ialah Syarif Hidayatullah keturunan Sultan Maulana Hasanuddin pendiri kerajaan islam Banten yang tak lain merupakan anak dari Sunan Gunung Jati Cirebon.
Perlu studi sejarah lebih lanjut untuk memastikan hal ini, apakah benar Sunan Gunung Jati ataukah seorang Ulama yang nasabnya tersambung ke Sunan Gunung Jati?
Dato Banjir juga dipercaya sebagai "penemu" atau "pemberi nama" kampung Lubang Buaya.
Banyak penyesatan sejarah yang dibiarkan, seolah nama kampung Lubang Buaya dinisbatkan dengan sumur tempat para korban peristiwa G30S-PKI ditimbun. Padahal, nama kampung Lubang Buaya sudah ada jauh sebelum peristiwa makar tahun 1965 tersebut terjadi.
Menurut cerita turun menurun dari para sesepuh Lubang Buaya, ketika Dato Banjir dalam perjalanan dakwahnya menyusuri aliran sungai menggunakan getek, tiba-tiba geteknya berhenti tanpa sebab. Ketika sedang memeriksa dasar sungai menggunakan galah, Dato menemukan sebuah lubang yang diduga merupakan sarang Buaya. Kemudian Dato Banjir singgah di tempat geteknya berhenti dan berdakwah disana hingga lambat laun dikenal dengan sebutan kampung Lubang Buaya.
Selain cerita di atas ada versi lain asal-usul nama kampung Lubang Buaya, Saya akan ceritakan di kesempatan lain.
Kembali ke Dato Banjir, yang menarik untuk dibahas ialah mengapa masyarakat menggelari beliau Dato Banjir? Apakah ada hubungannya dengan kata "banjir" yang sekarang identik dengan musibah di Jakarta?
Pangeran Syarif digelari Dato Banjir sebab dipercaya memiliki karomah "mendatangkan" dan "menolak" banjir. Konon saat zaman Hindia Belanda, kampung Lubang Buaya pernah akan diserbu oleh pasukan Belanda. Datok Banjir kemudian berdo'a dan seketika pasukan Belanda terombang-ambing seperti orang yang akan tenggelam. Menurut penglihatan mereka, Kampung Lubang Buaya rupanya berubah menjadi lautan, sehingga mereka mengurungkan niat untuk menyerbu.
Karomah ini dipercaya tidak hanya terjadi saat Dato Banjir masih ada di Lubang Buaya, melainkan hingga sepeninggalnya. Ketika terjadi peristiwa makar G30S-PKI misalnya, beberapa hari sebelum peristiwa G30S-PKI tahun 1965 warga Lubang Buaya melihat kemunculan Buaya Putih di kali Sunter yang menjadi pertanda akan terjadinya peristiwa besar, begitupula menjelang peristiwa reformasi 1998.
Saat operasi penumpasan G30S-PKI pun konon karomah Dato Banjir berulang kembali, kampung Lubang Buaya kembali berubah menjadi lautan sehingga RPKAD batal menyerang basis PKI di Lubang Buaya setelah berhasil merebut Pangkalan Udara Halim PK. Tidak seperti di daerah lain, dimana penumpasan PKI banyak menelan korban jiwa dari rakyat sipil karena taktik PKI yang menjadikan rakyat sebagai tameng hidup. Konon yang dilihat oleh RPKAD hanya bebek-bebek yang berenang hilir mudik di rawa. Setelah beberapa hari kemudian, RPKAD baru bisa memasuki kampung Lubang Buaya setelah sukwan PKI melarikan diri, sehingga tidak jatuh korban jiwa.
(Soal peristiwa G30S-PKI dan kaitannya dengan Kampung Lubang Buaya insya Allah kapan-kapan Saya buatkan catatan tersendiri)
Selain mampu "mendatangkan" banjir, dipercaya pula karomah "menolak" banjir. Daerah di sekitar Kramat Dato Banjir dipercaya tidak akan tersentuh banjir. Meskipun letak Kramat Dato Banjir sendiri nya persis di pinggir anak kali sunter dan hanya beberapa meter dari Kali Sunter itu sendiri, sederas apapun curah hujan dan sebesar apapun debit air di Kali Sunter, air akan lewat begitu saja tanpa mampir.
Entah benar faktor karomah, atau faktor geografis lainnya, faktanya hal ini benar terjadi. Ketika curah hujan tinggi, yang kebanjiran justru pemukiman yang letaknya jauh dari aliran kali sunter, biasanya karena faktor saluran got yang mengecil atau tersumbat.
Karena karomahnya ini hingga beberapa tahun silam, Kramat Dato Banjir masih ramai dikunjungi peziarah di Bulan Maulid atau menjelang Bulan Puasa dengan beragam niat masing-masing tentunya.
Bagi Warga Lubang Buaya sendiri Dato Banjir mendapat penghormatan yang sangat khusus. Warga Lubang Buaya, khususnya warga asli lubang buaya secara khusus "mengirimkan" Alfatihah kepada Mbah Pangeran Syarif kramat Dato Banjir Lubang Buaya ketika menggelar pengajian, tahlilan, atau hajatan. Bagaimanapun, Dato Banjir amat berjasa dalam mengislamkan masyarakat Lubang Buaya pada masa lalu.
Berkat Dato Banjir pula, Lubang Buaya dikenal menjadi lingkungan yang agamis. Dato Banjir dikenal keras kepada segala bentuk maksiat dan kemusyrikan diantaranya melarang pertunjukan seni cokek, wayang kulit dan semisalnya yang identik dengan maksiat dan kemusyrikan masuk ke Lubang Buaya. Bahkan kelompok seni topeng Betawi H. Bokir yang terkenal di pinggiran Jakarta hingga sekarang tidak berani manggung di Lubang Buaya.
0 comments:
Post a Comment