Sayidah Nafisah
Sayidah Nafisah
Sejarah sepakat mengatakan bahawa Sayyidah Nafisah semasa dengan Imam Syafie. Keduanya saling menghormati. Di ceritakan bahawa Imam Syafie meriwayatkan hadis dari Sayyidah Nafisah. Setiap berkunjung ke kediaman Sayyidah Nafisah Imam Syafie dan pengikutnya sangat menjunjung tinggi adab sopan santun terhadap beliau.
Imam Syafie setiap tertimpa penyakit selalu mengirim utusan ke Sayyidah Nafisah agar berkenan mendoakannya dengan kesembuhannya. Dan benar, setelah itu Imam Syafie mendapatkan kesembuhan. Ketika Imam Syafie tertimpa penyakit yang menyebabkan beliau wafat, Sayyidah Nafisah berkata pada utusan Imam Syafie: “Semoga Allah memberikan kenikmatan pada Syafie dengan melihat wajahNya yang mulia.”
Karamahnya
Sebelum menceritakan karamah-karamah Sayyidah yang mulia ini, perlu diketahui bahwa suami Sayyidah Nafisah (Ishaq bin al Mu’taman bin Ja’far ash Shadiq) pernah berkeinginan untuk memindah makam beliau ke pemakaman Baqi’ (Madinah). Kemudian penduduk Mesir meminta suami Sayyidah Nafisah untuk mengurungkan keinginannya, kerana penduduk Mesir ingin mendapatkan berkah darinya. Akhirnya, pada suatu malam suami Sayyidah Nafisah bermimpi bertemu Rasulullah s.a.w.. Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Ishaq, janganlah kamu menentang keinginan penduduk Mesir, karena Allah akan memberikan berkahNya kepada penduduk Mesir melalui Sayyidah Nafisah”.
Di antara karamahnya ialah ketika pembantu Sayyidah Nafisah yang bernama Jauharah keluar rumah untuk membawakan air wudhu untuk beliau, pada waktu itu hujan deras sekali. Akan tetapi, tapak kaki Jauharah tidak basah dengan air hujan.
Di antara karamahnya juga ialah, ada sebuah keluarga Yahudi yang tinggal di dekat kediaman Sayyidah Nafisah di Mesir. Keluarga itu mempunyai seorang anak perempuan yang lumpuh. Suatu ketika ibu anak itu berkata: “Nak, kamu mahu apa ? Kamu mahu ke kamar mandi ?. Si anak tiba-tiba berkata: “Aku ingin ke tempat perempuan mulia tetangga kita itu.” Setelah si ibu minta izin pada Sayyidah Nafisah dan beliau memperkenankannya, keduanya datang ke kediaman Sayyidah Nafisah. Si anak didudukkan di pinggir rumah. Ketika datang waktu solat Zuhur, Sayyidah Nafisah beranjak untuk berwudhuk di dekat gadis kecil itu. Air wudhuk beliau mengalir ke tubuh anak tersebut. Seperti mendapatkan ilham anak itu mengusap anggota tubuhnya dengan air berkah tersebut. Dan seketika itu juga ia sembuh dan bisa berjalan seperti tidak pernah sakit sama sekali.
Kemudian si anak pulang dan mengetuk pintu. Pintu dibuka oleh ibunya. Dengan hairan dia bertanya: “Kamu siapa Nak?” “Aku puterimu.” Sambil memeluk si ibu bertanya bagaimana ini bisa terjadi. Si anak kemudian bercerita dan akhirnya keluarga itu semuanya masuk Islam.
Selain itu, pernah suatu ketika sungai Nil berhenti mengalir dan mengering. Orang-orang mendatangi Sayyidah Nafisah dan memohon doanya. Beliau memberikan selendangnya agar dilempar ke sungai Nil. Mereka melakukannya. Dan seketika itu juga sungai Nil mengalir kembali dan melimpah.
Karamah-karamah beliau setelah wafat juga banyak. Di antaranya, pada tahun 638H, beberapa pencuri menyelinap ke masjidnya dan mencuri enam belas lampu dari perak. Salah seorang pencuri itu dapat diketahui, lalu dihukum dengan diikat pada pohon. Hukuman itu dilaksanakan di depan masjid agar menjadi pelajaran bagi yang lain. Pada tahun 1940, seseorang yang tinggal di daerah itu bersembunyi di masjid itu pada malam hari. Ia mencuri syal dari Kasymir yang ada di makam itu. Namun, ia tidak menemukan jalan keluar dari masjid itu dan tetap terkurung di sana sampai pelayan mesjid datang di waktu subuh dan menangkapnya.
Berilmu
Di jagat ilmu agama dan pengetahuan, namanya tersohor: Nafisah binti al-Hasan. Cucu Rasulullah SAW kelahiran Makkah 145 H itu mahir menguasai berbagai disiplin ilmu. Tumbuh dan berkembang di Madinah, mencetaknya sebagai pribadi yang matang. Ia berhasil menghafal Alquran saat ia masih kecil. Ia pun belajar tafsir dan hadis, hingga ia lihai di kedua bidang itu.
Ayahnya, Zaid bin al-Hasan, adalah gubernur Madinah ketika Khalifah Abu Ja'far al-Manshur berkuasa. Akibat persaingan politik, Zaid ditangkap dan diasingkan ke Baghdad. Seluruh hartanya disita. Nafisah pun menyertai ayahandanya ke Baghdad. Zaid dinyatakan bebas saat Khalifah al-Mahdi naik takhta. Al-Mahdi mengembalikan kekayaan Zaid.
Bersama sang suami, Ishaq al-Mu'tamin bin Imam Ja'far as-Shadiq, tokoh yang bernama lengkap Nafisah binti al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib itu pindah ke Madinah. Ia hidup dengan penuh kedamaian.
Di kota itu, ia mulai membuka kelas untuk belajar di rumahnya. Para pelajar berbondong-bondong ke rumahnya untuk mencari ilmu. Ia berbagi banyak sanad hadis. Sering pula memberikan fatwa atas persoalan tertentu. Atas prestasinya itu, ia mendapat gelar “Gudang Ilmu Pengetahuan”.
Pada 193 H ia pindah ke Mesir ditemani oleh suami dan ayah tercinta. Penduduk Mesir menyambutnya dengan antusias. Kegembiraan tampak terpencar di raut wajah mereka. Ia tinggal di kediaman salah satu tokoh Mesir Ibn al-Jashsash yang terletak di Fustat.
Di Negeri Piramida itu, ia mendapatkan penghargaan yang luar biasa. Warga Mesir berduyun-duyun belajar kepadanya. Sejumlah ulama senior pun turut menggali ilmu darinya secara langsung, di antaranya Imam Syafii. Ia sering menghadap ke ibu dari Qasim dan Ummu Kultsum tersebut. Pertemuan antarkeduanya berlangsung secara terpisah di belakang pembatas ruangan. Diskusi mengalir tentang soal apa pun, mulai dari fikih, hadis, dan ibadah.
Intensitas dan frekuensi pertemuan itu menumbuhkan hubungan emosional yang kuat antara guru dan murid. Ketika Imam Syafii sakit parah, ia meminta Nafisah mendoakannya agar cepat sembuh. Selang beberapa hari, peletak Mazhab Syafii itu wafat. Ia berwasiat supaya Nafisah berkenan menshalati jenazahnya. Ia memenuhi wasiat itu. Kepergian Syafii menjadi pukulan berat baginya.
Sejarah sepakat mengatakan bahawa Sayyidah Nafisah semasa dengan Imam Syafie. Keduanya saling menghormati. Di ceritakan bahawa Imam Syafie meriwayatkan hadis dari Sayyidah Nafisah. Setiap berkunjung ke kediaman Sayyidah Nafisah Imam Syafie dan pengikutnya sangat menjunjung tinggi adab sopan santun terhadap beliau.
Imam Syafie setiap tertimpa penyakit selalu mengirim utusan ke Sayyidah Nafisah agar berkenan mendoakannya dengan kesembuhannya. Dan benar, setelah itu Imam Syafie mendapatkan kesembuhan. Ketika Imam Syafie tertimpa penyakit yang menyebabkan beliau wafat, Sayyidah Nafisah berkata pada utusan Imam Syafie: “Semoga Allah memberikan kenikmatan pada Syafie dengan melihat wajahNya yang mulia.”
Karamahnya
Sebelum menceritakan karamah-karamah Sayyidah yang mulia ini, perlu diketahui bahwa suami Sayyidah Nafisah (Ishaq bin al Mu’taman bin Ja’far ash Shadiq) pernah berkeinginan untuk memindah makam beliau ke pemakaman Baqi’ (Madinah). Kemudian penduduk Mesir meminta suami Sayyidah Nafisah untuk mengurungkan keinginannya, kerana penduduk Mesir ingin mendapatkan berkah darinya. Akhirnya, pada suatu malam suami Sayyidah Nafisah bermimpi bertemu Rasulullah s.a.w.. Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Ishaq, janganlah kamu menentang keinginan penduduk Mesir, karena Allah akan memberikan berkahNya kepada penduduk Mesir melalui Sayyidah Nafisah”.
Di antara karamahnya ialah ketika pembantu Sayyidah Nafisah yang bernama Jauharah keluar rumah untuk membawakan air wudhu untuk beliau, pada waktu itu hujan deras sekali. Akan tetapi, tapak kaki Jauharah tidak basah dengan air hujan.
Di antara karamahnya juga ialah, ada sebuah keluarga Yahudi yang tinggal di dekat kediaman Sayyidah Nafisah di Mesir. Keluarga itu mempunyai seorang anak perempuan yang lumpuh. Suatu ketika ibu anak itu berkata: “Nak, kamu mahu apa ? Kamu mahu ke kamar mandi ?. Si anak tiba-tiba berkata: “Aku ingin ke tempat perempuan mulia tetangga kita itu.” Setelah si ibu minta izin pada Sayyidah Nafisah dan beliau memperkenankannya, keduanya datang ke kediaman Sayyidah Nafisah. Si anak didudukkan di pinggir rumah. Ketika datang waktu solat Zuhur, Sayyidah Nafisah beranjak untuk berwudhuk di dekat gadis kecil itu. Air wudhuk beliau mengalir ke tubuh anak tersebut. Seperti mendapatkan ilham anak itu mengusap anggota tubuhnya dengan air berkah tersebut. Dan seketika itu juga ia sembuh dan bisa berjalan seperti tidak pernah sakit sama sekali.
Kemudian si anak pulang dan mengetuk pintu. Pintu dibuka oleh ibunya. Dengan hairan dia bertanya: “Kamu siapa Nak?” “Aku puterimu.” Sambil memeluk si ibu bertanya bagaimana ini bisa terjadi. Si anak kemudian bercerita dan akhirnya keluarga itu semuanya masuk Islam.
Selain itu, pernah suatu ketika sungai Nil berhenti mengalir dan mengering. Orang-orang mendatangi Sayyidah Nafisah dan memohon doanya. Beliau memberikan selendangnya agar dilempar ke sungai Nil. Mereka melakukannya. Dan seketika itu juga sungai Nil mengalir kembali dan melimpah.
Karamah-karamah beliau setelah wafat juga banyak. Di antaranya, pada tahun 638H, beberapa pencuri menyelinap ke masjidnya dan mencuri enam belas lampu dari perak. Salah seorang pencuri itu dapat diketahui, lalu dihukum dengan diikat pada pohon. Hukuman itu dilaksanakan di depan masjid agar menjadi pelajaran bagi yang lain. Pada tahun 1940, seseorang yang tinggal di daerah itu bersembunyi di masjid itu pada malam hari. Ia mencuri syal dari Kasymir yang ada di makam itu. Namun, ia tidak menemukan jalan keluar dari masjid itu dan tetap terkurung di sana sampai pelayan mesjid datang di waktu subuh dan menangkapnya.
Berilmu
Di jagat ilmu agama dan pengetahuan, namanya tersohor: Nafisah binti al-Hasan. Cucu Rasulullah SAW kelahiran Makkah 145 H itu mahir menguasai berbagai disiplin ilmu. Tumbuh dan berkembang di Madinah, mencetaknya sebagai pribadi yang matang. Ia berhasil menghafal Alquran saat ia masih kecil. Ia pun belajar tafsir dan hadis, hingga ia lihai di kedua bidang itu.
Ayahnya, Zaid bin al-Hasan, adalah gubernur Madinah ketika Khalifah Abu Ja'far al-Manshur berkuasa. Akibat persaingan politik, Zaid ditangkap dan diasingkan ke Baghdad. Seluruh hartanya disita. Nafisah pun menyertai ayahandanya ke Baghdad. Zaid dinyatakan bebas saat Khalifah al-Mahdi naik takhta. Al-Mahdi mengembalikan kekayaan Zaid.
Bersama sang suami, Ishaq al-Mu'tamin bin Imam Ja'far as-Shadiq, tokoh yang bernama lengkap Nafisah binti al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib itu pindah ke Madinah. Ia hidup dengan penuh kedamaian.
Di kota itu, ia mulai membuka kelas untuk belajar di rumahnya. Para pelajar berbondong-bondong ke rumahnya untuk mencari ilmu. Ia berbagi banyak sanad hadis. Sering pula memberikan fatwa atas persoalan tertentu. Atas prestasinya itu, ia mendapat gelar “Gudang Ilmu Pengetahuan”.
Pada 193 H ia pindah ke Mesir ditemani oleh suami dan ayah tercinta. Penduduk Mesir menyambutnya dengan antusias. Kegembiraan tampak terpencar di raut wajah mereka. Ia tinggal di kediaman salah satu tokoh Mesir Ibn al-Jashsash yang terletak di Fustat.
Di Negeri Piramida itu, ia mendapatkan penghargaan yang luar biasa. Warga Mesir berduyun-duyun belajar kepadanya. Sejumlah ulama senior pun turut menggali ilmu darinya secara langsung, di antaranya Imam Syafii. Ia sering menghadap ke ibu dari Qasim dan Ummu Kultsum tersebut. Pertemuan antarkeduanya berlangsung secara terpisah di belakang pembatas ruangan. Diskusi mengalir tentang soal apa pun, mulai dari fikih, hadis, dan ibadah.
Intensitas dan frekuensi pertemuan itu menumbuhkan hubungan emosional yang kuat antara guru dan murid. Ketika Imam Syafii sakit parah, ia meminta Nafisah mendoakannya agar cepat sembuh. Selang beberapa hari, peletak Mazhab Syafii itu wafat. Ia berwasiat supaya Nafisah berkenan menshalati jenazahnya. Ia memenuhi wasiat itu. Kepergian Syafii menjadi pukulan berat baginya.
0 comments:
Post a Comment