Barokah Binti Tsalabah "Ummu Aiman" [Ibu ke 2 Rasulullah]
Barokah Binti Tsalabah "Ummu Aiman" [Ibu ke 2 Rasulullah]
Ummu Aiman adalah seorang hamba sahaya yang diwariskan kepada Muhammad oleh ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ummu Aiman mengasuh Muhammad sampai usia dewasa. Dia dimerdekakan setelah Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, kemudian dinikahi oleh ’Ubaid bin Al-Harits dari suku Khazraj. Dari pernikahannya dengan ’Ubaid, lahirlah Aiman. Aiman ikut hijrah dan berjihad bersama Muhammad dan gugur sebagai syahid dalam Perang Hunain.
Muhammad sangat menghormati Ummu Aiman. Suatu ketika dia mengunjunginya dan berkata, ”Wahai Ibu!” Dia juga pernah berkata, ”Wanita ini adalah anggota keluargaku yang masih tersisa.” Pada kesempatan lain dia juga pernah berkata, ”Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku (wafat).”
Ummu Aiman mengasuh Muhammad kecil dengan penuh kelembutan. Setelah Muhammad diangkat menjadi rasul, dia pernah berkata, ”Barang siapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga, maka hendaklah ia menikahi Ummu Aiman.” Mendengar sabda dia, Zaid bin Haritsah segera menikahinya. Dari pernikahannya dengan Zaid, lahirlah Usamah bin Zaid, lelaki kesayangan Muhammad.
Ketika Allah memerintahkan kaum muslim untuk hijrah ke Madinah, Ummu Aiman termasuk angkatan pertama yang turut hijrah ke Madinah. Dia melakukan hijrah dengan berjalan kaki, tanpa bekal, dan dalam keadaan puasa walaupun cuaca saat itu sangat panas, sehingga ia mengalami kehausan yang sangat. Selanjutnya, Allah memberikan kemurahan kepadanya dengan menurunkan dari langit satu timba air dengan tali timba yang berwarna putih. Dia pun meminumnya sampai puas.
Dalam sebuah riwayat, Ummu Aiman berkata, “Sesudah minum air itu, aku tidak merasakan haus lagi. Meskipun aku berpuasa di tengah hari yang biasanya aku merasa haus, kini aku tidak merasakan haus setelah minum air itu. Sejak saat itu, jika aku berpuasa pada hari yang sangat panas, aku tidak pernah merasakan haus."
Muhammad memperlakukan Ummu Aiman layaknya ibu dia sendiri. Suatu saat Ummu Aiman mendatangi dia dan berkata, ”Wahai Rasulullah, bawalah aku.” Dia berkata, ”Aku akan membawamu di atas anak unta.” Ia berkata lagi, ”Wahai Rasulullah, anak unta tidak sanggup menahan bebanku. Aku tidak mau.” Dia berkata, ”Aku tidak mau membawamu, kecuali di atas anak unta." Rasulullah memang ingin mencandai Ummu Aiman, karena setiap unta itu pastilah anak unta yang lain. Begitulah Rasulullah, bahkan dalam bercanda pun, dia tetap mengatakan sesuatu yang benar.
Ummu Aiman adalah wanita yang cedal (susah berbicara). Suatu ketika Ummu Aiman datang kepada Muhammad dan berkata, “Salaamun laa ’alaikum” (Semoga keselamatan tidak terlimpahkan kepadamu). Muhammad pun memaklumi ucapan salamnya itu, karena yang dia maksudkan sebenarnya adalah, ”Assalamu ’alaikum” (Semoga keselamatan tetap terlimpahkan kepadamu).
Ikut Serta Dalam 2 Hijrah [Habasyiah & Madinah]
Karena tiada hentinya siksaan kaum musyrikin terhadap orang-orang yang masuk Islam, terutama orang-orang yang lemah dan keturunan tak terpandang, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta para sahabatnya untuk hijrah ke negeri Habasyah demi menyelamatkan agama mereka, dengan meminta perlindungan kepada Raja Najasy yang ternyata bersedia memberi jaminan keamanan kepada mereka. Terutama keamanan sebagian besar kaum muslimin yang mengkhawatirkan diri dan keluarga mereka dari kaum Quraisy. Peristiwa ini terjadi pada tahun kelima dari masa kenabian. Bersama rombongan kaum muslimin yang berjumlah kurang lebih 70 orang itulah Ummu Aiman bergabung untuk menyelamatkan diri dan agamanya dari orang-orang kafir, sampai datang pertolongan dari Allah.
Hijrahnya yang kedua adalah ke Madinah Nabawiyyah, kota yang menjadi pusat perkembangan Islam dan tanah haram yang kedua, negeri yang dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam doa beliau: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Mekah, atau lebih.” Di sanalah Ummu Aiman menetap hingga akhir hayatnya.
Arti Tangisan Ummu Aiman
Sekitar dua setengah bulan sekembalinya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari menunaikan ibadah haji, beliau menderita sakit. Hari demi hari sakitnya makin bertambah parah. Setelah merasa tidak mampu menjadi imam shalat, beliau meminta Abu Bakr untuk menggantikan beliau. Akhirnya, tepat pada hari Senin tanggal 12 Robi’ul Awwal, beliau kembali menghadap Allah Ta’ala.
Berita kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada para sahabat. Hampir saja mereka tak sadar dan tidak mempercayai berita tersebut, hingga akhirnya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu’anhu, bangkit untuk menenangkan mereka, dan menjelaskan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hanya manusia biasa yang juga mati seperti manusia lain. Mereka akhirnya pun sadar.
Sebagaimana sahabat yang lain Ummu Aiman juga menangisi kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, menangis karena ditinggal orang yang paling dicintainya setelah Allah, dan dahulu pernah ia rawat dan asuh dengan penuh kasih sayang, dan yang menyayanginya dan keturunannya.
Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar: “Mari kita mengunjungi Ummu Aiman seperti yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup.” Ketika mereka datang ia pun menangis, mereka berdua bertanya, “Apa yang membuatmu menangis? Apa yang ada di sisi Allah, lebih baik bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” Ia menjawab sembari terus menangis, “Saya menangis bukan karena tidak tahu bahwa apa yang disediakan Allah untuk Rasul-Nya jauh lebih baik tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Sehingga Abu Bakar dan Umar pun ikut menangis.
Itulah sebuah makna dari tangisan Ummu Aiman, tetasan air mata yang sangat berharga, meleleh jatuh membasahi pipinya karena terputusnya wahyu seiring kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak akan ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika Khalifah Umar bin Khaththab terbunuh di tangan Abu Lu’lu’ah, Ummu Aiman juga menangisi kematiannya sembari berkata, “Hari ini Islam melemah (dengan terpecahnya pintu fitnah).”
Wanita agung lagi mulia ini menangis karena kekuatan kaum muslimin mulai terpecah-belah seiring syahidnya Khalifah Umar bin Khaththab. Sungguh tangisanmu sangat berarti, wahai Ummu Aiman. Sungguh tetesan air matamu sangat mulia, wahai ibunda Usamah bin Zaid pemimpin perang termuda pilihan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana dengan tangisan kita, wahai wanita muslimah?!
Wafatnya Ummu Aiman
Pada akhir khilafah Utsman bin Affan, Ummu Aiman menghadap Allah Ta’ala wafat menyusul junjungan dan putra asuhnya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, setelah ikut dalam perjuangan membela Islam, menggembleng putra-putranya menjadi mujahid-mujahid sejati, dan tak ketinggalan untuk ikut terjun langsung dalam membantu merawat dan memberi minum para mujahid pada perang Uhud dan Khaibar.
Ummu Aiman adalah seorang hamba sahaya yang diwariskan kepada Muhammad oleh ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ummu Aiman mengasuh Muhammad sampai usia dewasa. Dia dimerdekakan setelah Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, kemudian dinikahi oleh ’Ubaid bin Al-Harits dari suku Khazraj. Dari pernikahannya dengan ’Ubaid, lahirlah Aiman. Aiman ikut hijrah dan berjihad bersama Muhammad dan gugur sebagai syahid dalam Perang Hunain.
Muhammad sangat menghormati Ummu Aiman. Suatu ketika dia mengunjunginya dan berkata, ”Wahai Ibu!” Dia juga pernah berkata, ”Wanita ini adalah anggota keluargaku yang masih tersisa.” Pada kesempatan lain dia juga pernah berkata, ”Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku (wafat).”
Ummu Aiman mengasuh Muhammad kecil dengan penuh kelembutan. Setelah Muhammad diangkat menjadi rasul, dia pernah berkata, ”Barang siapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga, maka hendaklah ia menikahi Ummu Aiman.” Mendengar sabda dia, Zaid bin Haritsah segera menikahinya. Dari pernikahannya dengan Zaid, lahirlah Usamah bin Zaid, lelaki kesayangan Muhammad.
Ketika Allah memerintahkan kaum muslim untuk hijrah ke Madinah, Ummu Aiman termasuk angkatan pertama yang turut hijrah ke Madinah. Dia melakukan hijrah dengan berjalan kaki, tanpa bekal, dan dalam keadaan puasa walaupun cuaca saat itu sangat panas, sehingga ia mengalami kehausan yang sangat. Selanjutnya, Allah memberikan kemurahan kepadanya dengan menurunkan dari langit satu timba air dengan tali timba yang berwarna putih. Dia pun meminumnya sampai puas.
Dalam sebuah riwayat, Ummu Aiman berkata, “Sesudah minum air itu, aku tidak merasakan haus lagi. Meskipun aku berpuasa di tengah hari yang biasanya aku merasa haus, kini aku tidak merasakan haus setelah minum air itu. Sejak saat itu, jika aku berpuasa pada hari yang sangat panas, aku tidak pernah merasakan haus."
Muhammad memperlakukan Ummu Aiman layaknya ibu dia sendiri. Suatu saat Ummu Aiman mendatangi dia dan berkata, ”Wahai Rasulullah, bawalah aku.” Dia berkata, ”Aku akan membawamu di atas anak unta.” Ia berkata lagi, ”Wahai Rasulullah, anak unta tidak sanggup menahan bebanku. Aku tidak mau.” Dia berkata, ”Aku tidak mau membawamu, kecuali di atas anak unta." Rasulullah memang ingin mencandai Ummu Aiman, karena setiap unta itu pastilah anak unta yang lain. Begitulah Rasulullah, bahkan dalam bercanda pun, dia tetap mengatakan sesuatu yang benar.
Ummu Aiman adalah wanita yang cedal (susah berbicara). Suatu ketika Ummu Aiman datang kepada Muhammad dan berkata, “Salaamun laa ’alaikum” (Semoga keselamatan tidak terlimpahkan kepadamu). Muhammad pun memaklumi ucapan salamnya itu, karena yang dia maksudkan sebenarnya adalah, ”Assalamu ’alaikum” (Semoga keselamatan tetap terlimpahkan kepadamu).
Ikut Serta Dalam 2 Hijrah [Habasyiah & Madinah]
Karena tiada hentinya siksaan kaum musyrikin terhadap orang-orang yang masuk Islam, terutama orang-orang yang lemah dan keturunan tak terpandang, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta para sahabatnya untuk hijrah ke negeri Habasyah demi menyelamatkan agama mereka, dengan meminta perlindungan kepada Raja Najasy yang ternyata bersedia memberi jaminan keamanan kepada mereka. Terutama keamanan sebagian besar kaum muslimin yang mengkhawatirkan diri dan keluarga mereka dari kaum Quraisy. Peristiwa ini terjadi pada tahun kelima dari masa kenabian. Bersama rombongan kaum muslimin yang berjumlah kurang lebih 70 orang itulah Ummu Aiman bergabung untuk menyelamatkan diri dan agamanya dari orang-orang kafir, sampai datang pertolongan dari Allah.
Hijrahnya yang kedua adalah ke Madinah Nabawiyyah, kota yang menjadi pusat perkembangan Islam dan tanah haram yang kedua, negeri yang dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam doa beliau: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Mekah, atau lebih.” Di sanalah Ummu Aiman menetap hingga akhir hayatnya.
Arti Tangisan Ummu Aiman
Sekitar dua setengah bulan sekembalinya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari menunaikan ibadah haji, beliau menderita sakit. Hari demi hari sakitnya makin bertambah parah. Setelah merasa tidak mampu menjadi imam shalat, beliau meminta Abu Bakr untuk menggantikan beliau. Akhirnya, tepat pada hari Senin tanggal 12 Robi’ul Awwal, beliau kembali menghadap Allah Ta’ala.
Berita kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada para sahabat. Hampir saja mereka tak sadar dan tidak mempercayai berita tersebut, hingga akhirnya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu’anhu, bangkit untuk menenangkan mereka, dan menjelaskan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hanya manusia biasa yang juga mati seperti manusia lain. Mereka akhirnya pun sadar.
Sebagaimana sahabat yang lain Ummu Aiman juga menangisi kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, menangis karena ditinggal orang yang paling dicintainya setelah Allah, dan dahulu pernah ia rawat dan asuh dengan penuh kasih sayang, dan yang menyayanginya dan keturunannya.
Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar: “Mari kita mengunjungi Ummu Aiman seperti yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup.” Ketika mereka datang ia pun menangis, mereka berdua bertanya, “Apa yang membuatmu menangis? Apa yang ada di sisi Allah, lebih baik bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” Ia menjawab sembari terus menangis, “Saya menangis bukan karena tidak tahu bahwa apa yang disediakan Allah untuk Rasul-Nya jauh lebih baik tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Sehingga Abu Bakar dan Umar pun ikut menangis.
Itulah sebuah makna dari tangisan Ummu Aiman, tetasan air mata yang sangat berharga, meleleh jatuh membasahi pipinya karena terputusnya wahyu seiring kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak akan ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika Khalifah Umar bin Khaththab terbunuh di tangan Abu Lu’lu’ah, Ummu Aiman juga menangisi kematiannya sembari berkata, “Hari ini Islam melemah (dengan terpecahnya pintu fitnah).”
Wanita agung lagi mulia ini menangis karena kekuatan kaum muslimin mulai terpecah-belah seiring syahidnya Khalifah Umar bin Khaththab. Sungguh tangisanmu sangat berarti, wahai Ummu Aiman. Sungguh tetesan air matamu sangat mulia, wahai ibunda Usamah bin Zaid pemimpin perang termuda pilihan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana dengan tangisan kita, wahai wanita muslimah?!
Wafatnya Ummu Aiman
Pada akhir khilafah Utsman bin Affan, Ummu Aiman menghadap Allah Ta’ala wafat menyusul junjungan dan putra asuhnya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, setelah ikut dalam perjuangan membela Islam, menggembleng putra-putranya menjadi mujahid-mujahid sejati, dan tak ketinggalan untuk ikut terjun langsung dalam membantu merawat dan memberi minum para mujahid pada perang Uhud dan Khaibar.
0 comments:
Post a Comment